MUNGKIN di antara Anda pernah melihat seseorang yang sedang berdiam diri tiba- tiba berteriak tidak karuan, berlari ke sana kemari tanpa tujuan. Lalu berhenti dan diam. Lalu mengulangi perbuatan yang sama. Suasana hatinya juga bisa berubah dengan cepat. Orang semacam ini bukan berarti gila. Ini yang dinamakan dengan skizofrenia. Penyakit ini salah satu gangguan jiwa serius. Cirinya adalah hilangnya respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Penderita skizofrenia ditandai dengan ketidakmampuan menilai realita, seperti mendengar suara-suara, berperilaku aneh, seringkali diikuti dengan delusi atau keyakinan yang salah dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang panca indera). Skizofrenia bisa diderita siapa saja, hanya saja gejalanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda. Pada laki-laki biasanya dimulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun. Sedangkan pada wanita lebih lambat, yaitu sekitar 25-35 tahun. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri. Menurut dr Irmansyah SpKJ dari Departemen Psikiatri FKUI RSCM, pengetahuan masyarakat masih rendah. Banyak yang tidak mengerti soal skizofrenia. Jika ada anggota keluarganya yang terkena skizofrenia umumnya masih bingung dan menolak, malah mencari pengobatan alternatif. "Skizofrenia bisa disembuhkan. Sangat penting diobati secara teratur dan komprehensif. Dan keluarga harus mendukung, menerima mereka apa adanya dan mendorong kegiatan pasien," kata Irmansyah di sela-sela pembukaan pameran lukisan Mind Art of Schizophrenia di Taman Ismail Marzuki pekan lalu. Sampai saat ini penyebab skizofrenia belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan tanda-tanda yang kuat bahwa penyakit ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti gangguan otak, ketidakseimbangan kimiawi otak, gangguan struktur atau fungsi otak. Faktor keturunan juga berperan dalam terjadinya skizofrenia. Risiko untuk menderita skizofrenia akan meningkat apabila ada anggota keluarga yang menderita skizofrenia. "Faktor genetik memang berisiko tinggi. Perkembangan kognitifnya sudah terjadi sebelum mereka lahir. Kemunculan saat dewasa bisa jadi terpicu oleh stres," kata dr Pandu Setiawan SpKJ, Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan RI. Perlu dipahami bahwa skizofrenia bukan disebabkan oleh guna-guna, kutukan, kepribadian ganda, kesalahan dalam pengasuhan, terlalu banyak membaca buku agama, putus pacar, atau keinginan yang tidak terkabul. Penyembuhan skizofrenia selain dengan obat, harus juga dilakukan rehabilitasi. Irmansyah menjelaskan rehabilitasi di sini maksudnya adalah pasien terlibat dalam kegiatan masyarakat. Tapi, harus disesuaikan dengan kemampuan dan secara individual. Bisa berupa terapi kognitif, terapi lukis, atau terapi sosial. "Pengobatan yang benar harus dilakukan secara holistik, menyeluruh dan berkesinambungan. Minum obat pun harus terus menerus, tapi bukan berarti ketergantungan. Lama kelamaan dosisnya bisa diturunkan. hal ini bertujuan untuk memperbaiki struktur neurobiologinya," ujar Pandu. Agak sulit memastikan kesembuhan skizofrenia, namun gejalanya dapat dikendalikan. Itulah sebabnya mengapa pemberian obat harus berlangsung lama dan diperlukan kontrol rutin dan teratur. Adakalanya bisa terjadi kekambuhan bila tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur, menghentikan sendiri minum obat tanpa persetujuan dokter, kurang dapat dukungan dari keluarga dan masyarakat, serta adanya masalah yang membuat stres atau beban pikiran. (dam) |
|
Staf Pengajar Bagian Keperawatan Jiwa FIK UNPAD
About Me
- power nursing
- Merupakan Kelompok dari Mata Kuliah Kep.Jiwa 2 Terdiri dari: Ramdani, Ratih Puji Lestari, Dessi Yuliani, Anggi Megawati, Ingrit Ratna Furi, Rizky Yeni, Dwiana Wima
TEMA BLOG KAMI
SERTA GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL
Skizofrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan psikolog.
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
- Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
- Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala psikosis.
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi.
Tentu dalam pembuatan blog ini tidak lepas dari peran para dosen kami tercinta, khususnya dosen keperawatan jiwa. dalam kesempatan ini, ijinkan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka.
Blog ini dibuat untuk membantu dalam memberikan informasi berkaitan dengan schizophrenia, gangguan orientasi realita, dan gangguan hubungan sosial. namun, dalam hal ini, sangat kami sadari, masih begitu banyak kekurangan. oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk blog kami.
terlelap dalam ketidakberdayaan
terarah tuk sesuatu yang tak berarah secara pasti
berdiri...berlari...tanpa beda yang terasa
terjebak dalam dunia yang tak seorangpun orang mengerti
kau dengar apa yang tak ku dengar
KLIEN DENGAN MASALAH UTAMA ISOLASI SOSIAL : MENARIK DIRI
Klien Nn. B, 24 tahun, anak ke-4 dari 7 bersaudara (3 orang adik lain ibu), dari tiga keluarga Bpk. A (almarhum) dan Ibu I (almarhum), bertempat tinggal di Jakarta Barat. Klien masuk rumah sakit tanggal 14 Maret 1996, dirawat untuk yang ketiga kalinya dengan keluhan utama klien sering merobek-robek bajunya, telanjang, dan ingin lari dari rumah. Sejak kecil, klien dianggap mengalami gangguan jiwa, dianggap bodoh sehingga klien tidak disekolahkan. Diumah selalu dikucilkan dan tidak pernah diajak berkomunikasi, tidak mempunyai teman dekat, tidak ada anggota keluarga yang dianggap teman dekat klien. Akibatnya, klien sering menyendiri, melamun, dan mengatakan bahwa ada suara yang menyuruh pergi. Karena klien tidak mau pergi, sebagai gantinya klien disuruh merobek-robek bajunya dan menggores-gores tubuhnya dengan silet.
Keluarga merasa tidak mampu untuk merawat dan akhirnya membawa klien ke rumah sakit jiwa (RSJ) dengan alasan mau diajak nonton film. Selama di RSJ, ibu tiri klien tidak pernah menjenguk dan kadang kala kakak kandung klien datang ke RSJ untuk membawakan pakaian serta membayar biaya obat-obatan, tetapi kakaknya tidak mengakui klien sebagai adiknya. Dari hasil observasi didapat data tentang klien, yaitu rambut kotor dan bau, banyak kutu, wajah lusuh, tatapan mata kosong, gigi kuning, banyak kotoran, tercium bau yang tidak enak, telinga kotor, kulit kotor banyak daki, kuku panjang dan kotor, tidak memakai alas kaki. Klien mengatakan malas mandi. Gaya bicara klien hati-hati, bicara apabila ditanya, jawaban singkat. Klien sering duduk sendiri dan banyak tidur.
Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan untuk kasus diatas adalah
1. Isolasi sosial : menarik diri;
2. Gangguan sensori/persepsi: halusinasi pendengaran;
3. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri;
4. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis;
5. Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik;
6. Defisit perawatan diri: mandi dan berhias;
7. ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah;
8. Gangguan pemeliharaan kesehatan.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan dari pohon masalah pada gambar diatas adalah sebagai berikut :
1. Risiko Perilaku Kekerasan terhadap Diri Sendiri berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
2. Gangguan Sensori/Persepsi: Halusinasi Pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
3. Isolasi Sosial: Menarik Diri berhubungan dengan harga diri rendah kronis.
4. Gangguan Pemeliharaan Kesehatan berhubungan dengan defisit persawatan diri: mandi dan berhias.
5. Ketidakefektifan Penatalaksanaan Program Terapeutik berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah.
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Resiko gangguan sensori/persepsi halusinasi berhubungan dengan menarik diri
TUM
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
TUK:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
KRITERIA EVALUASI
Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
INTERVENSI
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik
a. Sapa klien dengan nama baik verbal maupun nonverbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang disukai klien
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
g. Berikan perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
KRITERIA EVALUASI
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri yang berasal dari :
· Diri sendiri
· Orang lain
· Lingkungan
INTERVENSI
· Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandanya
a. ” Di rumah, Ibu tinggal dengan siapa”
b. ”Siapa yang paling dekat dengan Ibu”
c. ”Apa yang membuat Ibu dekat dengannya”
d. ”Dengan siapa Ibu tidak dekat”
e. ”Apa yang membuat Ibu tidak dekat”
· Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan yang menyebabkan klien tidak mau bergaul
· Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksidengan orang lain dan kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
KRITERIA EVALUASI
3.1. Klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
Misalnya:
· Banyak teman
· Tidak sendiri
· Bisa diskusi, dll
INTERVENSI
3.1.1. Kaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman
3.1.2. Beri kesempatan kepada klien untuk berinteraksi dengan orang lain
3.1.3. Diskusikan bersama klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
3.1.4. Beri penguatan positif terhadap kemampuan mengungkapakan perasaan tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain
KRITERIA EVALUASI
3.2.Klien dapat menyebutkan kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain
INTERVENSI
3.2.1. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain
3.2.2. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang kerugian bila tidak berinteraksi dengan orang lain
3.2.3. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
3.2.4. beri penguatan positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan interaksi sosial secara bertahap
KRITERIA EVALUASI
Klien dapat mendemonstrasikan interaksi sosial secara bertahap antara :
· Klien-perawat
· Klien-perawat-perawat lain
· Klien-perawat-perawat lain-klien lain
· Klien-keluarga-/kelompok/masyarakat
INTERVENSI
4.1.1 kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
4.1.2. Bermain peran tentang cara berhubungan/berinteraksi dengan orang lain
4.1.3. dorong dan bantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain melalui tahap :
· Klien-perawat
· Klien-perawat-perawat lain
· Klien-perawat-perawat lain-klien lain
· Klien-keluarga-/kelompok/masyarakat
4.1.4.Beri penguatan positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
4.1.5. Bantu klien untuk mengevaluasi keuntungan menjalin hubungan sosial
4.1.6. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu, yaitu berinteraksi dengan orang lain
4.1.7. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
4.1.8. Beri penguatan positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
5. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berinteraksi dengan orang lain
KRITERIA EVALUASI
Klien dapat mengungkapkan perasaanya setelah berinteraksi dengan orang lain untuk :
· Diri sendiri
· Orang lain
INTERVENSI
5.1.1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berinteraksi dengan orang lain
5.1.2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
5.1.3. Beri penguatan positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
KRITERIA EVALUASI
. Keluarga dapat :
· Menjelaskan perasaannya
· Menjelaskan cara merawat klien menarik diri
· Mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik diri
· Berpartisipasi dalam perawatan klien menarik diri
INTERVENSI
6..1.1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
· Salam, perkenalan diri
· Jelaskan tujuan
· Buat kontrak
· Eksplorasi perasaan klien
6.1.2. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
· Perilaku menarik diri
· Penyebab perilaku menarik diir
· Akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
· Cara keluarga menghadapi klien menarik diri
6.1.3. Dorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada klien dalam berkomunikasi dengan orang lain
6.1.4. Anjurkan anggota keluarga untuk secara rutin bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu
6.1.5. Beri penguatan positif atas hal-hal ang telah dicapai oleh keluarga
Terapi dan rehabilitasi
Terapi somatikAntipsikotikAntipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama :Antagonis resptor dopaminRisperidone ( risperdal )Clozapine ( clozaril )Obat lainLithiumAntikonvulsanBenzodiazepinTerapi elektro konvulsif ( ECT )Seperti juga dengan terapi konvulsi yang lain, cara bekerjanya elektro konvulsi belum diketahui dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek lamanya serangan skizofrenik dan dapat mempermudah kontak dengan pasien.Akan tetapi terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. ECT lebih mudah diberikan, dapat dilakukan secara ambulans, bahaya lebih kecil, lebih murah dan tidak memerlukan tenaga yang khususECT baik hasilnya pada jenis katatonik terutama katatonikstupor. Terhadap skizofrenik simplex efeknya mengecewakan, bila gejala hanya ringan lantas diberi ETC, kadang-kadang gejala menjadi lebih berat.
Terapi psikososialTerapi perilakuRencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis dan komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yanga dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapakan. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau mernyimpang seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat dan postur tubuh yang aneh dapat diturunkan.Latihan keterampilan perilaku melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi dalam terapi dan pekerjaan rumah tentang keterampilan.Terapi berorientasi keluargaPerilaku setelah periode pemulangan, topik penting yang dibahas adalah proses pemulihan. Pusat terapi harus pada situasi untuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang memungkinkan menimbulkan kesulitan. Terapi selanjutnya dapat diarahkan kepada berbagai macam penerapan strategi menurunkan stress dan mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke dalam aktivitas.Terapi kelompokTerapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi ini juga efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia.
Terapi psikomotorTerapi psikomotorik ialah suatu bentuk terapi yang mempergunakan gerakan tubuh sebagai salah satu cara untuk melakukan analisa berbagai gejala yang mendasari suatu bentuk gangguan jiwa dan sekaligus sebagai terapi. Analisa yang diperoleh dapat dipakai sebagai bahan diskusi dinamika dari perilaku serta responnya dalam perubahan perilaku dengan tujuan mendapatkan perilaku yang paling sesuai dengan dirinya.Terapi rekreasiTerapi reakreasi ialah suatu bentuk terapi yang mempergunakan media reakresi (bermain, berolahraga, berdarmawisata, menonton TV, dan sebagainnya) dengan tujuan mengurangi keterganguan emosional dan memperbaiki prilaku melalui diskusi tentang kegiatan reakresi yang telah dilakukan, sehingg perilaku yang baik diulang dan yang buruk dihilangkan.Art terapiArt terapi ialah suatu bentuk yang menggunakan media seni ( tari, lukisan, musik,pahat, dan lain-lain) untuk mengekspresikan ketegangan-ketegangan pskis, keinginan yang terhalang sehingga mendapatkan berbagai bentuk hasil seni dan menyalurkan dorongan-dorongan yang terpendam dalam jiwa seseorang. Hasil seni yang dibuat selain dapat dinikmati orang lain dan dirinya juga akan meningkatkan harga diri seseorang.Perawat jiwa yang selalu dekat dengan pasien diharapkan dapat memberikan berbagai kegiatan yang terarah dan berguna bagi pasien dalam berbagai terapi tersebut.
RehabilitasiPengertian rehabilitasi adalah :a.Suatu proses yang kompleks, meliputi berbagai disiplin dan merupakan gabungan dari usaha medik, sosial, educational dan vaksional yang terpadu untuk mempersiapkan , meningkatkan/mempertahankan dan membina seseorang agar dapat mencapai kembali taraf kemampuan fungsional setinggi mungkin.b.Suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan bagi penderita cacat agar mampu melaksankan fungsi sosilanya secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
Dalam proses kegiatan pelayanan rehabilitasi pasien mental ada 2 usaha pokok yaitu persiapan , penyaluran/penempatan dan pengawasan.Kegiatan persiapanKegiatan persiapan meliputi : seleksi/work assessment, okupasiterapi prevocational training (latihan kerja) seleksi/work asessment yang bertyjuan untuk memilih dan memberikan pengarahan dalam berbagai kegiatan yang cocok dengan kondisi pasien baik fisiknya, kecerdasannya, bakatnya, sifat-sifat keperibadiannya serta minatnya sehingga kegiatan tersebut dapat mengurangi gejala dan memperbaiki perilakunya. Okupasiterapi bertujuahn untuk memberikan berbagai kergiatan yang cocok sesuai dengan hasil seleksi. Latihan kerja (prevocational training) berusaha memberikan keterampilan kerja yang dapat dipakai sebagai bekal untuk hidup mandiri dan berguna.Kegiatan penempatan/penyaluranKegiatan penempatan/penyaluran adalah usaha untuk mengembalikan pasien ke keluarga/masyarakat dengan memperbaiki hubungan yang retak antara pasien dan keluarga sehingga keluarga bersedia menerima kembali ataupun mencari pengganti dan menyalurkan ke instansi lain.Kegiatan pengawasanKegiatan pengawasan adalah usaha tindak lanjut terhadap pasien yang telah dipulangkan dengan melakukan kunjungan rumah (home visit) atau menyelenggarakan bengkel kerja terlindung (sheltered workshop) di rumah sakit jiwa.
Peran perawat dalam pelayanan rehabilitasi pasien mental khususnya pasien skizofrenik, sangat penting, karena dalam kenyataan, pasien skizofrenik merupakan sebagian pasien kronis di dalam rumah sakit jiwa. Pasien kronis inilah yang merupakan sasaran pertama dalam upaya rehabilitasi agar mereka dapat dikembalikan ke masyarakat dan tidak mengisi sebagaian besar rumah sakit jiwa.Perawat merupakan petugas yang kerab melakukan pelayanan di rumah sakit jiwa, oleh karena itu informasi-informasi, pengalaman-pengalaman serta usaha-usaha yang dilakukan seseorang perawat terhadap pasien mental akan sangat berperan baik dalam persiapan, penyaluran/penempatan dan pengawasan rehabilitasi. Di samping itu peran perawat dalam kegiatan rehabilitasi masih dibutuhkan terutama dalam melibatkan keluarga atau masyarakat dalam pelaksanaan dan memperlancar upaya rehabilitasi. Pada saat seperti itulah perawat dapat memberikan pengarahan mengenai bagaimana keluarga dapat membantu agar pasien tidak menjadi kambuh kembali yaitu dengan tetap memberikan kegiatan yang berguna kepada pasien dan jangan malah disembunyikan. Bila di rumah sakit tersebut telah ada pelayanan pelayanan day care maka perawat perlu menyarankan agar pasien tersebut mengikuti kegiatan day care.
Perkembangan Hubungan Sosial
1) Bayi (tergantung pada rasa percaya terhadap diri dan orang lain)
2) Pra Sekolah (otonomi – Hubungan interdependen)
3) Sekolah (bekerjasama, kompetisi, dan kompromi)
4) Remaja (hubungan intim dengan teman sebaya dan sejenis, independen dengan orang tua)
5) Dewasa Muda (hubungan interdependen dengan orang tua dan teman)
6) Dewasa Tengah (hubungan interdependen dengan orang lain)
7) Dewasa Lanjut (penurunan dan kehilangan)
Gangguan Hubungan Sosial yaitu suatu gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, pola tingkah laku maladaptive, mengganggu fungsi sosial dalam Hubungan sosialnya
Adaptive Responses maladaptif responses
Solitude Loneliness Manipulation
Autonomy Withdrawal Impulsivity
Mutuality Dependence Nacissism
Interdependence
Pengkajian
8) Faktor Predisposisi
Tumbuh kembang,komunikasi dalam keluarga, sosial budaya, biologis
9) Faktor Presipitasi
Sosial budaya, hormonal, hipotesa virus, model biological lingkungan sosial, psikologis
Perilaku
1. Curiga : tidak mampu mempercayai orang lain, bermusuhan, mengisolasi diri, paranoid
2. Manipulasi : kurang asertif, mengisolasi diri, HDR, sangat tergantung
3. Menarik diri/isolasi sosial : kurang spontan, apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menghindar dari orang lain, komunikasi kurang atau tidak ada, tidak ada kontak mata, menolak berhubungan, tidak melakukan kegiatan sehari-hari
Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan Interaksi social : menarik diri
2. isolasi social
3. perawatan diri kurang : mandi/berhias/makan/eliminasi
4. resiko perubahan persepsi sensori : halusinasi
“Kerusakan Interaksi social : menarik diri “
Tujuan umum : mampu berinteraksi sosial dengan orang lain dan aktivitas sosial secara mandiri dengan cara yang pantas dan dapat diterima, tanpa hambatan dan atau kesulitan
Tujuan khusus : setelah tindakan keperawatan, klien mampu :
Membina hubungan saling percaya
menyadari penyebab isolasi sosial
berinteraksi dengan orang lain
Rencana Tindakan Keperawatan
Bina hubungan saling percaya antara perawat-klien
Bantu klien untuk mengenali penyebab menarik diri
Bantu klien untuk mendiskusikan keuntungan dan kerugian berhubungan dengan orang lain
Bantu klien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
Pertimbangan umum
Pertimbangan yang pasti dari skizoprenia masih belum jelas. Konsensus umum saat ini adalah bahwa gangguan ini disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara berbagai faktor. Faktor-faktor yang telah dipelajari dan diimplikasikan meliputi predisposisi genetika, abnormalitas perkembangan saraf, abnormalitas struktur otak, ketidakseimbangan neurokimia, dan proses psikososial dan lingkungan.
Predisposisi genetika
meskipun genetika merupakan faktor risiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen.
penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Risiko terjangkit skizoprenia bila gangguan ini ada dalam keluarga adalah sebagai berikut:
satu orang yang terkena: risiko 12% sampai 15%
kedua orang tua terkena penyakit ini: risiko 35% sampai 39%
saudara sekandung yang terkena: risiko 8% sampai 10%
kembar dizigotik yang terkena: risiko 15%
kembar monozigotik yang terkena: risiko 50%
Abnormalitas perkembangan saraf
penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizoprenia
faktor-faktor yang dapat memengaruhi perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai risiko yang terus bertamah meliputi:
individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua
individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan
penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa kanak-kanak awal
Abnormalitas struktur otak
Pada beberapa subkelompok penderita skizoprenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menunjukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi:
pembesaran ventrikel
penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal
penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu
atrofi serebri
Ketidakseimbangan neurokimia (neurotransmiter)
dulu penelitian berfokus pada hipotesis dopamin, yang menyatakan bahwa aktivitas dopamin yang berleihan di bagian kortikal otak, berkaitan dengan gejala positif dari skizoprenia
penelitian terabaru menunjukkan pentingnya neurotransmiter lain termasuk serotonin, norepinefrin, glutamat, dan GABA.
Homeostasis, atau hubungan antarneurotransmiter, mungkin lebih penting dibanding jumlah relatif neurotransmiter tertentu
Tempat reseptor untuk neurotransmiter tertentu juga penting. Perubahan jumlah dan jenis reseptor dapat memengaruhi tingkat neurotransmiter. Oat psikotropik dapat memengaruhi tempat reseptor neurotransmiter dan juga neurotransmiter itu sendiri.
Proses psikososial dan lingkungan
teori perkembangan
teori keluarga
status sosial ekonomi
model kerentanan stres
DESKRIPSI
Definisi
Gangguan skizoprenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang memengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima, dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi, dan berperilaku dengan sikap yang dapat diterima secara sosial.
Kriteria DSM-IV
Gangguan berlangsung selama sedikitnya 6 bulan dan termasuk minimal 1 bulan gejala fase aktif yang melibatkan dua atau lebih hal-hal berikut ini: waham, halusinansi, bicara tidak teratur, perilaku yang sangat kacau atau katatonik, gejala-gejala negatif ( mis, afek datar, alogia, atau avolisi.
Kriteria lain
Terganggunya fungsi sosial dan okupasi.
Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan mengesampingkan ciri-ciri psikotik.
Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologik dari suatu zat atau kondisi medis umum.
Gejala umum
Waham
Asosiasi longgar
Halusinasi
Ilusi
Depersonalisasi/derealisasi
Afek datar
Ambivalensi
Avolisi
Alogia
Ekopraksia
Anhedonia
Pemikiran konkrit
Klasifikasi
Skizoprenia dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu positif atau negatif. Kebanyakan klien dengan gangguan ini mengalami campuran dua jenis gejala.
Gejala positif meliputi halusinasi, waham, asosiasi longgar, dan perilaku yang tidak teratur atau aneh.
Gejala negatif meliputi emosi tertahan (afek datar), anhedonia, avolisi, alogia, dan menarik diri.
Jenis
1. Skizoprenia paranoid
Ciri-ciri utamanya adalah waham yang sistematis atau halusinasi pendengaran
Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar dan agresif.
Perilaku kurang regresif, kerusakan sosial leih sedikit, dan prognosisnya leih baik dibanding jenis-jenis yang lain.
2. Skizoprenia hebefrenik (disorganized schizophrenia)
Ciri-ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau, serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi.
Individu tersebut juga mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara sosial yang ekstrim, mengabaikan higiene dan penampilan diri.
Awitan biasanya terjadi sebelum usia 25 tahun dan dapat bersifat kronis.
Perilaku regresif, dengan interaksi sosial dan kontak dengan realitas yang buruk.
3. Skizoprenia katatonik
Ciri-ciri utamanya ditandai dengan gangguan psikomotor, yang melibatkan imobilitas atau justru aktivitas yang berlebihan.
Stupor katatonik. Individu dapat menunjukkan ketidakaktifan, negativisme, dan kelenturan tuuh yang berlebihan.
Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim dan dapat disertai dengan ekolalia dan ekopraksia.
4. Skizoprenia yang tidak digolongkan
Ciri-ciri utamanya adalah waham, halusinasi, percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang kacau.
Klasifikasi ini digunakan bila kriteria untuk jenis lain tidak terpenuhi.
5. Skizoprenia residu
Ciri-ciri utamanya adalah tidak adanya gejala akut saat ini, melainkan terjadi di masa lalu.
Dapat terjadi gejala-gejala negatif, seperti isolasi sosial yang nyata, menarik diri dan gangguan fungsi peran.
Awitan dan perjalanan penyakit
Awitan gejal biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Awitan dapat terjadi bertahap atau tiba-tiba.
Perjalanan penyakit skizoprenia bervariasi, dan dapat sembuh. Sebagian klien dapat sembuh total, sebagian lagi kronis atau tidak dapat disembuhkan.
A. Pengkajian
1. Riwayat. Tinjau kembali riwayat klien untuk adanya stresor pencetus dan data yang signifikan.
§ Kerentanan genetic-biologik (riwayat keluarga)
§ Peristiwa hidup yang menimbulkan stress
§ Hasil pemeriksaan status mental
§ Riwayat psikiatrtik dan keptuhan terhdap pengobatan di masa lalu
§ Riwayat pengobatan
§ Penggunaan obat dan alkohol
§ Riwayat pendidkkan dan pekerjaan
2. Kaji klien untuk adanya gejala-gejala karakteristik
3. Kaji sistem pendukung keluarga dan komunitas
Pengaturan hidup saat ini dan tingkat pengawasan
Keterlibatan dan dukungan keluarga
Manajer kasus atau ahli terapi
§ Pertisipasi dalam program pengobatan komunitas
4. Kaji pengetahuan dasar klien dan keluarga. Kaji apakah klien dan keluarganya mempunyai pengetahuan yang cukup tentang :
Gangguan skizofrenia
Rekomendasi medikasi dan pengobatan
Tanda-tanda kekambuhan
§ Tindakan untuk mengurangi stres
5. Kaji klein untuk adanya efek samping medikasi antipsikotik
Efek sistem pyramidal ( extrapyramidal system ;ESE,). Gunakan alat-alat tertentu, seperti skala AIMS atau skala neurological simpson, untuk melakukan pengkajian.
Afek antikolinergik
Efek kardiovaskuler
B.Diagnosis keperawatan
1. Analisis gejala positif dan negative
2. Analisis kekutan dan kelemahan klien, termasuk:
Kemampuan mengurus diri
Sosialisasi
Komunikasi
Menguji realitas
Keterampilan pekerjaan
Sistem pendukung
3. Analisis faktor-faktor yang meningkatkan resiko ekspresi perilaku yang tidak disadari, termasuk:
Agitasi
Marah
Curiga
Adanya halusinasi yang mengancam
4. Membentuk dan memprioritaskan diagnosis keperawatan bagi klien dan kelurganya.
Harga diri rendah, kronis
Koping keluarga tidak efektif : memburuk
Gangguan penetalaksaan pemeliaharan rumah
Koping individu tidak efektif
Kurang pengetahuan ( sebutkan)
Penatalaksanaan tidak efektif progarm terapeutik : keluarga
Penatalaksanaan tidak efektif progarm terapeutik : individu
Ketidakpatuhan
Perubahan kinerja peran
Kurang perawatan diri ( sebutkan)
Perubahan sensorik/persepsi: penglihatan, penedengaran , kinestetik, pengecapan, peraba, penciuman (sebutkan)
Perubahan proses berfikir
Resiko kekerasan terhadap diri sendiri/orang lain
C.Perencanaan dan identifikasi hasil
1. Tetapkan tujuan yang realistis bersama klien.2. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan bagi klien dengan gangguna skizofrenia. 3. Tetapkan criteria hasil yang diinginkan bagi keluarga yang memilki anggota keluarga skizofrenia.
D. Implementasi
1. Klien yang menarik diri dan isolasi
Gunakan diri secara terapeutik.
Lakukan interaksi yang terencana, singkat, sering dan tidak menuntut.
Rencanakan kativitas sederhana satu-lawan-satu.
Pertahankan konsistensi dan kejujuran dalam interaksi.
Secara bertahap anjurkan klien untuk berinteraksi dengan teman-temannya dalam situasi yang tidak mengancam
Berikan pelatihan keterampilan sosial.
Lakukan berbagai tindakan untuk meningkatkan harga diri.
2. Klien menunjukkan perilaku regresif atau tidak wajar
Lakukan pendekatan apa adanya terhadap perilaku aneh (jangan memperkuat perilaku ini).
Perlakukan klien sebagai orangdewasa, waluapun ia mengalami regresi.
Pantau pola makan klien; dan beri dukungan serta bantuan bila perlu.
Bantu klien dalam hal higiene dan berdandan, hanya bila ia tidak dapat melakukannya sendiri.
Berhati-hati dengan sentuhan karena dapat dianggap sebagai ancaman
Buat jadwal rutin aktivitas hidup sehari-hari.
Berikan pilhan sederhana dari dua hal bagi klien yang mengalami mabivalensi
3. Klien dengan pola komunikasi tidak jelas
Perthankan komunikasi anda sendiri agar tetap jelas dan tidak ambigu.
Pertahankan konsistensi komunikasi verbal dan nonverbal anda.
Klarifikasi setiapmakna yang ambigu atau tidak jelas berkaitan dengan komunikasi klien
4. Klien curiga dan kasar
Bentuk hubungan profesional; terlalu ramah dapat diangap ancaman.
Berhati-hati dengan sentuhan karena dapat dianggap sebagai ancaman.
Berikan kontrol dan otonomi sebanyak mungkin kepada klien dalam batas-batas terapeutik.
Ciptakan rasa percaya melalui interaksi singkat yang mengomunikasikan perhatian dan rasa hormat.
Jelaskan setiap pengobatan, medikasi dan pemeriksaan laboratorium sebelum memulainya.
Jangan berfokus atau memperkuat ide curiga atau waham.
Identifikasi dan berikan respons terhadap kebutuhan emosi yang mendasari kecurigaan atau waham
Lskuksn intervensi bila klien menunujjkan tanda-tanda peningkatan ansietas dan berpotensi mengkejspresikan perilaku yang tidak disadarinya.
Berhati-hatilah untuk tidak berperilaku dengan cara yang dapat disalahartikan kilen.
5. Klien dengan halusinasi atau waham
Jangan memfokuskan perhatian pada halusinasi atau waham. Lakukan interupsi terhadap halusinasi klien dengan memulai interaksi satu-lawan-satu yang didasarkan pada realitas.
Katakan bahwa Anda tidak sependapat dengan persepsi klien, tetapi validasi bahwa anda percaya bahwa halusinasi tersebut nyata bagi klien.
Jangan berargumentasi dengan klien tentang halusinasi atau waham.
Berikan respons terhadap perasaan yang dikomunikasikan klien pada saat ia mengalami halusinasi atau waham.
Alihkan dan fokuskan klien pada aktivitas yang terstruktur atau tugas berbasis realitas.
Pindahkan klien ke tempat yang lebih tenang, yang kurang menstimulasi.
Tunggu sampai klien tidak mengalami halusinasi atau waham sebelum memulai sesi penyuluhan tentang hal itu.
Jelaskan bahwa halusinasi atau waham adalah gejala-gejala gangguan psikiatrik.
Katakan bahwa ansietas atau peningkatan stimulus dari lingkungan, dapat menstimulasi timbulnya halusinasi.
Bantu klien mengendalikan halusinasinya dengan berfokus pada realitas dan minum obat sesuai resep.
Bila halusinasi tetap ada, Bantu klien untk mengabaikannya dan tetap bertindak dengan benar walaupun terjadi halusinasi.
Ajarkan berbagai strategi kognitif dan katakan kepada klien untuk menggunakan percakapan diri (“suara-suara itu tidak masuk akal”) dan penghentian pikiran (“saya tidak akan memikirkan tentang hal ini”).
6. Klien dengan perilaku agitasi dan berpotensi melakukan kekerasan
Observasi tanda-tanda awal agitasi; lakukan intervensi sebelum ia mulai mengekpresikan perilaku yang tidak disadarinya.
Berikan lingkungan yang aman dan tenang; kurangi stimulus ketika klien mengalami agitasi.
Jangan membalas klien bila klien berkata kasar; gunakan nada suara yang tenang. Berikan ruang pribadi dan hindari kontak fisik.
Dorong klien untuk membicarakan, dan bukan melampiaskan perasaannya.
Tawarkan obat seperlunya kepada klien yang mengalami agitasi.
Isolasi klien dari lingkungan sosial klien bila agitasi meningkat.
Tetapkan batasan-batasan perilaku yang tidak dapat diterima dan secara konsisten ikuti protokol institusi untk mengambil tindakan.
Ikuti protokol institusi untuk menghadapi klien yang mengekspresikan perilaku yang tidak disadari.
Pastikan bahwa semua anggota staf ada di tempat pada saat berupaya meredakan kekerasan yang dilakukan klien. Bila diperlukan restrein, laukan secara aman dan dengan sikap yang tidak menghukum, ikuti protokol dan berikan lingkungan yang aman.
7. Keluarga dari klien dengan gangguan skizofrenia
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mendiskusikan perasaan dan kebutuhannya.
Bantu keluarga mendefinisikan aturan-aturan dasar tentang menghormati privasi orang lain dan hidup bersama.
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas.
Anjurkan setiap anggota keluarga untuk terlibat dalam kegiatan kelompok pendukung.
Bantu setiap anggota keluarga untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulkan ansietas dan menyusun rencana strategi koping yang spesifik.
Ajarkan pada keluarga tentang penyakit skizofrenia dan penatalaksanaannya.
Penyuluhan keluarga yang anggota keluarganya menderita skizofrenia
1. Ajarkan pada keluarga tentang skizofrenia :
§ Skizofrenia adalah gangguan otak yang memengaruhi semua aspek fungsional.Tidak ada penyebab tunggal yang telah ditetapkan, tetapi penelitian menunjukkan bahwa penyebabnya, antara lain genetika, perubahan struktur dan kimia otak, serta berbagai faktor yang berkaitan dengan stress.
§ Gejala-gejalanya dapat mencakup mendengar suara-suara (halusinasi), keyakinan yang keliru (waham), berkomunikasi dengan cara yang sulit dipahami, serta fungsi okupasi dan sosial yang buruk.
§ Gejala-gejala dapat membaik, tetapi dapat juga kambuh terus seumur hidup.
2. Ajarkan pada keluarga tentang :
§ Obat-obatan antipsikotik yang digunakan; penting bagi klien untuk meminumnya sesuai resep.
§ Efek samping yang banyak terjadi dan dapat diatasi bila segera dilaporkan ke penyedia layanan kesehatan. (Berikan informasi spesifik mengenai obat klien).
§ Menindaklanjuti perawatan dengan ahli terapi atau manajer perawatan merupakan hal yang sangat penting.
3. Ajarkan pada keluarga tentang cara-cara mengatasi gejala klien :
Identifikasi berbagai kejadian yang secara tipikal mengecewakan klien dan memberikan bantuan ekstra sesuai kebutuhan.
Catat kapan klien menjadi marah dan lakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi ansietas.
Tindakan untuk mengurangi ansietas meliputi istirahat, teknik-teknik relaksasi, keseimbangan antara istirahat dan aktivitas, dan diet yang tepat.
Catat gejala-gejala yang ditunjukkan klien ketika ia sakit, dan bila ini terjadi anjurkan klien untuk menghubungi penyedia layanan kesehatan (bila ia menolak, Anda harus menghubungi sendiri penyedia layanan kesehatan tersebut).
Tidak menyetujui pernyataan klien tentang halusinasi atau waham; beri tahu tentang realitas, tetapi jangan berargumentasi dengan klien.
Informasi tambahan :
Ajarkan kepada keluarga tentang perawatan diri
Anjurkan keluarga untuk membicarakan tentang perasaan dan kekhawatiran mereka dengan penyedia layanan kesehatan.
Anjurkan keluarga untuk mau mempertimbangkan bergabung dengan kelompok pendukung atau bantuan masyarakat.
E. Evaluasi hasil
1. Klien mengidentifikasikan perasaan internalnya terhadap ansietas dan menggunakan tindakan koping yang sudah dipelajarinya untuk mengurangi ansietas.
2. Klien dapat menjaga hygiene dirinya.
3. Klien mengikuti jadwal rutin untuk aktivitas hidup sehari-hari.
4. Klien menunjukkan perilaku yang tepat dalam situasi sosial.
5. Klien berkomunikasi tanpa menunjukkan pemikiran disosiasi.
6. Klien membedakan antara pikiran da perasaan yang distimulasi dari dalam dirinya dan yang distimulasi dari luar.
7. Klien menunjukkan berkurangnya atau terkendalinya cara berpikir magis, waham, halusinasi dan ilusi.
8. Klien menunjukkan perbaikan interaksi sosial dengan orang lain.
9. Klien menunjukkan afek yang sesuai dengan perasaan, pikiran, dan situasi.
10. Klien menunjukkan berkurangnya perasaan curiga, negatif dan marah.
11. Klien mengidentifikasi aspek-aspek positif pada dirinya.
12. Anggota keluarga menggunakan strategi koping yang efektif untuk mengatasi situasi yang menimbulkan ansietas.
13. Klien berpartisipasi dalam rencana pengobatan dan mau menindaklanjuti program pengobatan di komunitas.
14. Klien dan keluarga menggunakan pengetahuan tentang gangguan, program pengobatan, medikasi, gejala-gejala dan penatalaksanaan krisis secara berkelanjutan.
1. Diagnosa Keperawatan
- perubahan persepsi sensori (halusinasi)
- perubahan proses pikir (waham)
- kerusakan komunikasi verbal
- kerusakan interaksi sosial
- isolasi sosial
- perilaku kekerasan
- resiko mencederai/membahayakan
- gangguan harga diri
2. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Gangguan Komunikasi
- tidak mengartikan suatu simbolik
- ciptakan perilaku yang dapat dimengerti bersama
- sensitif terhadap komunikasi non verbal
- perawat sadar diri
- komunikasi terapeutik
- sentuhan
- manajemen penolakan intim
- komunikasi terstruktur
- umpan balik
3. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Curiga
- membina hubungan saling percaya
- sikap terapeutik
- kaji kemampuan, minat, dukungan, observasi sumber dukungan, bimbing klien membina hubungan umpan balik, dorong hubungan sosial
- pemberian obat
- pemenuhan kebutuhan dasar
4. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Menarik Diri
- memenuhi kebutuhan dasar
- komunikasi verbal dan non verbal
- mengikutsertakan orang lain
- intervensi keluarga
- terminasi
- pengambilan keputusan
5. Prinsip Intervensi Keperawatan untuk Meningkatkan Harga Diri
- ungkapkan perasaan
- hargai perasaan klien
- identifikasi kemampuan klien
- umpan balik
- bimbing klien melakukan kegiatan
6. Prinsip Intervensi Keperawatan untuk Melindungi klien
- pengawasan ketat
- jelaskan tindakan
- kolaborasi
- penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi/cocok dan berubah dari biasanya
- pembicaraan tidak terorganisir dan bentuknya yang maladaptif seperti kehilangan hubungan, tidak logis, berbelit - belit
- aktivitas motorik meningkat atau menurun, impulsif, kataton, dan bizar
- alam perasaan dapat berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai perilaku apatis
- afek merupakan perilaku yang tampak yang diekspresikan pada saat klien mengalami perasaan emosi tertentu
- sikap klien bermusuhan, mudah tersinggung dan curiga yang terkait dengan wahamnya
- persepsi adalah kemampuan mengidentifikasi dan menginterpretasi stimulus sesuai dengan informasi yang diterima melalui panca indera. Halusinasi merupakan salah satu respon orientasi realita yang maladaptif. Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya kien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/rangsang dari luar. Kien dengan skizofrenia, 70% mengalami halusinasi dan 90% mengalami waham (Stuart and Sundeen, 1995)
- proses pikir, proses informasi yang tidak baik akan mempengaruhi proses pikir. Dalam komunikasi mungkin inkoheren, tidak berhubungan, berbelit dan tidak logis
- isi pikir, dapat diidentifikasi dengan adanya waham
Semaraknya aliran sesat saat ini, membuat saya ingin sekali mengungkapkan apa itu waham atau delusi. Dalam ilmu kedokteran jiwa, dikatakan bahwa waham sering dijumpai pada penderita gangguan mental yang merupakan salah satu dari gejala gangguan isi pikir. Waham atau delusi merupakan keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus luar yang cukup dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Tidak realistik, Tidak logis, Menetap, Egosentris, Diyakini kebenarannya oleh penderita, Tidak dapat dikoreksi, Dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata, Penderita hidup dalam wahamnya itu, Keadaan atau hal yang diyakini itu bukan merupakan bagian sosiokultural setempat Waham ada berbagai macam, yaitu :
- Waham kendali pikir (thought of being controlled). Penderita percaya bahwa pikirannya, perasaan atau tingkah lakunya dikendalikan oleh kekuatan dari luar.
- Waham kebesaran (delusion of grandiosty). Penderita mempunyai kepercayaan bahwa dirinya merupakan orang penting dan berpengaruh, mungkin mempunyai kelebihan kekuatan yang terpendam, atau benar-benar merupakan figur orang kuat sepanjang sejarah (misal : Jendral Sudirman, Napoleon, Hitler, dll).
- Waham Tersangkut. Penderita percaya bahwa setiap kejadian di sekelilingnya mempunyai hubungan pribadi seperti perintah atau pesan khusus. Penderita percaya bahwa orang asing di sekitarnya memperhatikan dirinya, penyiar televisi dan radio mengirimkan pesan dengan bahasa sandi.
- Waham bizarre, merupakan waham yang aneh. Termasuk dalam waham bizarre, antara lain : Waham sisip pikir/thought of insertion (percaya bahwa seseorang telah menyisipkan pikirannya ke kepala penderita); waham siar pikir/thought of broadcasting (percaya bahwa pikiran penderita dapat diketahui orang lain, orang lain seakan-akan dapat membaca pikiran penderita); waham sedot pikir/thought of withdrawal (percaya bahwa seseorang telah mengambil keluar pikirannya); waham kendali pikir;waham hipokondri
- Waham Hipokondri. Penderita percaya bahwa di dalam dirinya ada benda yang harus dikeluarkan sebab dapat membahayakan dirinya.
- Waham Cemburu. Cemburu disini adalah cemburu yang bersifat patologis
- Waham Curiga. Curiga patologis sehingga curiganya sangat berlebihan
- Waham Diancam. Kepercayaan atau keyakinan bahwa dirinya selalu diikuti, diancam, diganggu atau ada sekelompok orang yang memenuhinya.
- Waham Kejar. Percaya bahwa dirinya selalu dikejar-kejar orang
- Waham Bersalah. Percaya bahwa dirinya adalah orang yang bersalah
- Waham Berdosa. Percaya bahwa dirinya berdosa sehingga selalu murung
- Waham Tak Berguna. Percaya bahwa dirinya tak berguna lagi sehingga sering berpikir lebih baik mati (bunuh diri)
- Waham Kiskin. Percaya bahwa dirinya adalah orang yang miskin.
Pernah ngetawain orang gila?
Pernah ngeledekin orang gila?
Pernah mukulin orang gila?
Atau…
Pernah berpikir bahwa orang gila adalah orang yang terkena kutukan?
Harus dijauhi?
Diasingkan?
Dan bahkan terpikir bahwa mereka sebaiknya tidak ada di dunia ini…
Jika iya,
Maka…
Andalah yang gila
Dan perlu diobati jiwanya!!!
Ekstreeeem?
Hmmm, aku pikir juga begitu.
Tapi itu dulu..
Sudah banyak penelitian yang mengemukakan bahwa pada orang-orang dengan psikosis (gangguan jiwa berat, termasuk didalamnya skizofrenia) mengalami kelainan di otak mereka yang berhubungan dengan fungsi bagian-bagian tertentu di otak. Cukup ribetlah kalo disini kita ngebahas patofisiologi nya (mempelajari proses terjadinya penyakit).
Jadi ketika mereka menunjukkan sikap dan tingkah laku yang abnormal, pada prinsipnya itu terjadi karena ada kesalahan bentuk pikir dalam menilai realita. Mereka berada dalam posisi yang sulit untuk membedakan antara realita dan yang bukan realita.
Memang faktor psikososial dan genetik juga ternyata berpengaruh di dalamnya. Namun segala sesuau yang terjadi dalam tubuh manusia bukanlah ilmu matematika yang mempunyai hitungan pasti. Banyak faktor yang berpengaruh secara simultan disana.
Nah, ada pertanyaan dari seorang psikiater:
“kalau kamu dicolek orang psikosis (gangguan jiwa berat), kamu marah tidak?”
Waktu itu para co-ass menjawab dengan jawaban yang hampir kompak: “marah tho ya…”.
“kalau kalian jawab begitu saat ujian, kalian langsung TIDAK LULUS!!!” kata beliau
Why?
Ada yang dinamakan tingkah laku impulsif pada orang psikosis. Dimana tingkah laku tersebut didasari oleh keinginan hawa nafsu tanpa rem. Ya, jadi mereka memang tidak bisa mengendalikan kehendak mereka sendiri. Itulah mengapa mereka bisa marah hebat, mengamuk, dan melakukan tindakan tidak senonoh…
Terus gimana dong ketika menghadapi mereka?
Ya, tetap waspada.
PENDAHULUAN
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk
halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling
sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.
Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang
dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan
suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau
bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya
bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap
tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya
bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.
Persepsimerupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus esksternal
,juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh
stimulus yang diterima. Jika diliputi rasa kecemasan yang berat maka kemampuan
untuk menilai realita dapat terganggu. Persepsi mengacu pada respon reseptor
sensoris terhadap stimulus. Persepsi juga melibatkan kognitif dan pengertian
emosional akan objek yang dirasakan. Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses
sensori penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan.
Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan
pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang
berhubungan dengan penggunaan alcohol dan substansi lingkungan.
Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa
85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis
kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai
dengan evaluasi.
LANDASAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI
1. PENGERTIAN
a. Persepsi
Adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan
dimengerti penginderaan/sensasi : proses penerimaan rangsang. Jadi
gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan
antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan,
sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud
bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan
mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya.
Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara
fantasi dan kenyataaan. Mereka dalap menggunakan proses pikir yang
logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta
mengevaluasinya secara akurat. Jika ego diliputi rasa kecemasan yang
berat maka kemampuan untuk menilai realitas dapat terganggu. Persepsi
mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal.
Misalnya sensoris terhadap rangsang, pengenalan dan pengertian akan
perasaan seperti : ucapan orang, objek atau pemikiran. Persepsi
melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang dirasakan.
Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensoris dari pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Gangguan ini dapat
bersifat ringan, berat, sementara atau lama. (Harber, Judith, 1987, hal
725)
b. Halusinasi
Merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi pengalaman
panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik (persepsi indra yang
salah). Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi
sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau
pengecapan), sedangkan menurut
gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari
luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat
kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut
terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari
individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak
nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.
2. E T I O L O G I
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada
klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan
delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan
alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan
epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi
juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang
meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik,
sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi
sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat
keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi,
perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya
permasalahan pada pembicaraan.
Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun
banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis ,
sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis ,
pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
3. PSIKOPATOLOGI
Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan
persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau
mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam
bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan
mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada pasien itu,
akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.
Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara
sendiri atau bibirnya bergerak-gerak.
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori
yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik,
fisiologik dan lain-lain.Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga
yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari
dalam tubuh ataupun dari luar tubuh.Input ini akan menginhibisi persepsi
yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau
tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau
patologis,maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscius
bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya
keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya
kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi
diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
4. MANIFESTASI KLINIK
Tahap I
! Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai
! Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
! Gerakan mata yang cepat
! Respon verbal yang lambat
! Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan
Tahap II
! Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya
peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah
! Penyempitan kemampuan konsenstrasi
! Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Tahap III
! Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada menolaknya
! Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain
! Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik
! Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor,
ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk
Tahap IV
! Prilaku menyerang teror seperti panik
! Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
! Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,
menarik diri atau katatonik
! Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks
! Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang
B. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :
HALUSINASI
Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar
untuk berhubungan dengan orang lain. Untuk itu perawat harus mempunyai
kesadaran yang tinggi agar dapat mengenal, menerima dan mengevaluasi
perasaan sendiri sehingga dapat menggunakan dirinya secara terapeutik dalam
memberikan asuhan keperawatan terhadap klien halusinasi perawat harus
bersikap jujur, empati, terbuka dan selalu memberi penghargaan namun tidak
boleh tenggelam juga menyangkal halusinasi yang klien alami. Asuhan
keperawatan tersebut dimulai dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi.
1. Pengkajian
Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :
a. Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor
perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor
resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
! Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan
kecemasan
! Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa
disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di
besarkan.
! Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan
adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP)
©2003 Digitized by USU digital library 5
! Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan
mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan
gangguan orientasi realitas.
! Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui,
tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
b. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya
rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam
kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan
juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya
halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan
yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
c. Prilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun
atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat
dilihat dari
1. Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi
rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak
dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi
tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu
dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.
Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian
klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan
adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol
oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh
karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan
klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien
tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5. Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga
interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses
diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan
halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat
halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan
dirinya.
d. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu
dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping
dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan
masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu
seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
mengadopsi strategi koping yang berhasil.
e. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya
penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah yang dapat dirumuskan pada umumnya bersumber dari apa
yang klien perlihatkan sampai dengan adanya halusinasi dan perubahan yang
penting dari respon klien terhadap halusinasi.
Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi pad aklien dengan
halusinasi adalah sebagai berikut :
a. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi
b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
c. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
d. Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan berhubungan dengan
ketidakmampuan dalam merawat diri
e. Perubahan proses pikir : Waham berhubungan dengan harga diri rendah
kronis
f. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif berhubungan dengan koping
keluarga tak efektif
g. Kerusakan komunikasi verbal
h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan halusinasi
i. Koping individu tidak efektif
3. PERENCANAAN TINDAKAN
a. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan
dengan halusinasi
Tujuan Umum : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang
lain.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
3. Klien dapat mengontrol halusinasinya
4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya
5. Klien dapat menggunakan obat untuk mengontrol halusinasinya
Kriteria Evaluasi :
Klien dapat :
1. Mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal
2. Menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara
memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi klien
untuk digunakan
3. Menggunakan keluarga untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering
berinteraksi dengan keluarga
4. Menggunakan obat dengan benar
Intervensi :
1.1. Bina Hubungan saling percaya
1.1.1. Salam terapeutik
1.1.2. Perkenalkan diri
1.1.3. Jelaskan tujuan interaksi
1.1.4. Ciptakan lingkungan yang tenang
1.1.5. Buat kontrak yang jelas
1.2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
1.3. Dengarkan ungkapan klien dengan empati
1.4. Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu
disesuaikan dengan kondisi klien)
1.5. Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan
dengan halusinasi
1.6. Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan
tingkah laku halusinasi
1.7. Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak
menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi
1.8. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat
alami halusinasi.
2.1. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang
mengalami halusinasi.
3.1. Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi
3.2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara
memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien
3.3. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok
4.1. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami
halusinasi
4.2. Lakukan kunjungan rumah : Diskusikan dengan keluarga tentang :
4.2.1 Halusinasi klien
4.2.2 Cara memutuskan kelompok
4.2.3 Cara merawat anggota keluarga halusinasi
4.2.4 Cara memodifikasi lingkungan untuk menurunkan kejadian
halusinasi
4.2.5 Cara memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan pada saat
mengalami halusinasi
5.1. Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol
halusinasi
5.2. Bantu klien menggunakan obat secara benar
b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri
Tujuan Umum : Klien mampu mengontrol halusinasinya
Tujuan Khusus :
1. Klien mampu membina hubungan saling percaya
2. Klien mampu mengenal prilaku menarik dirinya, misalnya menyebutkan
perilaku menarik diri
3. Klien mampu mengadakan hubungan/sosialisasi dengan orang lain :
perawat atau klien lain secara bertahap
4. Klien dapat menggunakan keluarga dalam mengembangkan
kemampuan berhubungan dengan orang lain
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat dan mau berjabat tangan. Dengan perawat mau
menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk
bersama
2. Klien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri
3. Klien mau berhubungan dengan orang lain
4. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara
bertahap dengan keluarga
Intervensi :
1.1. Bina hubungan saling percaya
1.1.1 Buat kontrak dengan klien
1.1.2 Lakukan perkenalan
1.1.3 Panggil nama kesukaan
1.1.4 Ajak klien bercakap-cakap dengan ramah
2.1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya
serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan
perasaan penyebab klien tidak mau bergaul/menarik diri
2.2. Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
yang mungkin jadi penyebab
2.3. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan
3.1. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan
3.2. Perlahan-lahan serta klien dalam kegiatan ruangan dengan melalui
tahap-tahap yang ditentukan
3.3. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai
3.4. Anjurkan klien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari
berhubungan
3.5. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan klien mengisi
waktunya
3.6. Motivasi klien dalam mengikuti aktivitas ruangan
3.7. Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan
4.1 Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan
keluarga
4.2 Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab
dan cara keluarga menghadapi
4.3 Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi
4.4 Anjurkan anggota keluarga secara rutin menengok klien minimal
sekali seminggu
c. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
Tujuan Umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara
bertahap
Tujuan Khusus :
Klien dapat :
1. Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
2. Menilai kemampuan diri yang dapat dipergunakan
3. Klien mampu mengevaluasi diri
4. Klien mampu membuat perencanaan yang realistik untuk dirinya
5. Klien mampu bertanggung jawab dalam tindakan
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat menyebut minimal 2 aspek positip dari segi fisik
2. Klien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan
3. Klien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan
4. Klien mampu memulai mengevaluasi diri
5. Klien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan
kemampuan yang ada pada dirinya
6. Klien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai
dengan rencanan
Intervensi :
1.1. Dorong klien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada
dirinya dari segi fisik
1.2. Diskusikan dengan klien tentang harapan-harapannya
1.3. Diskusikan dengan klien keterampilannya yang menonjol selama di
rumah dan di rumah sakit
1.4. Berikan pujian
2.1. Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh klien
2.2. Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh klien
2.3. Diskusikan strategi koping yang efektif bagi klien
3.1. Bersama klien identifikasi stressor dan bagaimana penialian klien
terhadap stressor
3.2. Jelaskan bahwa keyakinan klien terhadap stressor mempengaruhi
pikiran dan perilakunya
3.3. Bersama klien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak
realistik
3.4. Bersama klien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki
3.5. Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok
3.6. Diskusikan koping adaptif dan maladaptif
3.7. Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptif
4.1. Bantu klien untuk mengerti bahwa hanya klien yang dapat merubah
dirinya bukan orang lain
4.2. Dorong klien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri
(bukan perawat)
4.3. Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan/tujuannya
4.4. Bantu klien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang
diharapkan
4.5. Dorong klien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang
sesuai potensi yang ada pada dirinya
5.1. Beri kesempatan kepada klien untuk sukses
5.2. Bantu klien mendapatkan bantuan yang diperlukan
5.3. Libatkan klien dalam kegiatan kelompok
5.4. Tingkatkan perbedaan diri pada klien didalam keluarga sebagai
individu yang unik
5.5. Beri waktu yang cukup untuk proses berubah
5.6. Beri dukungan dan reinforcement positip untuk membantu
mempertahankan kemajuan yang sudah dimiliki klien
d. Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan diri berhubungan dengan
ketidak mampuan dalam merawat diri
Tujuan Umum : Klien mampu melaksanakan perawatan diri dengan baik
sehingga penampilan diri adekuat
Tujuan Khusus :
Klien mampu :
1. Menjelaskan arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri
2. Mengidentifikasi kebersihan dirinya
3. Menjelasakan cara-cara membersihkan dirinya
4. Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat
5. Melakukan perawatan diri secara mandiri
6. Memberdayakan sistem pendukung untuk meningkatkan perawatan diri
Kriteria Evaluasi :
Klien mampu :
1. Menyebutkan arti kebersihan diri
2. Menyebutkan tujuan kebersihan diri (untuk memelihara kesehatan
tubuh dan badan terasa segar/nyaman)
3. Menyebutkan tanda-tanda kebersihan diri : kulit tidak ada daki dan
tidak berbau, rambut tidak ada ketombe, kutu, tidak ada bau dan
tersisir rapi, kuku pendek dan bersih, mulut/gigi tidak bau, genitalia
tidak gatal dan mata tidak ada kotoran
4. Menilai keadaan kebersihan dirinya
5. Menyebutkan cara-cara membersihkan diri dari rambut sampai kaki
6. Mendemonstrasikan cara membersihkan diri secara benar dengan
bantuan perawat
7. Melakukan perawatan diri secara mandiri dengan benar dan tersusun
jadwal kegiatan untuk kebersihan diri
8. Keluarga mampu menyebutkan cara meningkatkan kebersihan diri klien
dan keluarga dapat membantu/terlibat aktif dalam memelihara
kebersihan diri
Intervensi :
1.1. Dorong klien untuk menyebutkan arti, tujuan dan tanda-tanda
kebersihan diri
1.2. Diskusikan tentang arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri
1.3. Dengarkan keluahan klien dengan penuh perhatian dan empati
1.4. Berikan pujian apabila klien menyebutkan secara benar
2.1. Bantu klien menilai kebersihan dirinya
2.2. Berikan pujian atas kemampuan klien menilai dirinya
3.1. Dorong klien menyebutkan alat-alat dan cara membersihkan diri
3.2. Diskusikan tentang alat-alat dan cara membersihkan diri
3.3. Menjelasakan cara-cara membersihkan diri
3.4. Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat
4.1. Demonstrasikan pada klien cara-cara membersihkan diri
4.2. Bimbing klien mendemonstrasikan kembali cara-cara membersihkan
diri
4.3. Dorong klien membersihkan diri sendiri dengan bantuan
4.4. Melakukan perawatan diri secara mandiri
5.1. Berikan kesempatan klien untuk membersihkan diri sendiri secara
bertahap sesuai dengan kemampuan
5.2. Dorong klien mengungkapkan manfaat yang dirasakan setelah
membersihkan diri
5.3. Beri penguatan positif atas perawatan klien
5.4. Bimbing klien membuat jadwal kegiatan untuk membersihkan diri
5.5. Bimbing klien membersihkan diri sesuai jadwal secara mandiri
5.6. Monitor kemampuan klien membersihkan diri sesuai jadwal
6.1. Diskusikan dengan keluarga tentang ketidakmampuan klien dalam
merawat diri
6.2. Diskusikan cara membantu klien membersihkan diri
6.3. Libatkan keluarga dalam perawatan kebersihan diri klien
6.3.1 Menyediakan alat-alat
6.3.2 Membantu klien membersihkan diri
6.3.3 Memonitor pelaksanaan jadwal
6.4. Beri pujian
e. Perubahan proses pikir : Waham somatis berhubungan dengan harga diri
rendah kronis
Tujuan Umum : Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa
merasa rendah diri
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat memperluas kesadaran diri
2. Klien dapat menyelidiki dirinya
3. Klien dapat mengevaluasi dirinya
4. Klien dapat membuat rencana yang realistis
5. Klien mendapat dukungan keluarga yang meningkatkan harga dirinya
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat menyebutkan kemampuan yang ada pada dirinya setelah 1
kali pertemuan
2. Klien dapat menyebutkan kelemahan yang dimiliki dan tidak menjadi
halangan untuk mencapai keberhasilan
3. Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan yang sesuai dengan
kemampuannya setelah 1 kali pertemuan
4. Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialami setelah 1
kali pertemuan
pertemuan
6. Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai setelah 1 kali
pertemuan
7. Klien dapat membuat keputusan dan mencapai tujuan setelah 1 kali
pertemuan
8. Keluarga dapat menyebutkan tanda-tanda harga diri rendah :
! Mengatakan diri tidak berharga
! Tidak berguna dan tidak mampu
! Pesimis
! Menarik diri dari realita
9. Keluarga dapat berespon dan memperlakukan klien dengan harga diri
rendah secara tepat setelah 2 kali pertemuan
Intervensi :
1.1.1. Diskusikai dengan klien kelebihan yang dimiliknya
1.2.1. Diskusikan kelemahan yang dimilik klien
1.2.2. Beritahu klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna,
semua memiliki kelebihan dan kekurangan
1.2.3. Beritahu klien bahwa kekurangan bisa ditutup dengan
kelebihan yang dimiliki
1.2.4. Anjurkan klien untuk lebih meningkatkan kelebihan yang
dimiliki
1.2.5. Beritahukan klien bahwa ada hikmah dibalik kekurangan
yang dimiliki
2.1.1. Diskusikan dengan klien ideal dirinya : Apa harapan
selama di RS, rencana klien setelah pulang dan apa citacita
yang ingin dicapai
2.1.2. Beri kesempatan klien untuk berhasil
2.1.3. Beri reinforcement positip terhadap keberhasilan yang
telah dicapai
3.1.1. Bantu klien mengidentifikasikan kegiatan atau keinginan
3.1.2. Kaji bagaimana perasaan klien dengan keberhasilan
tersebut
3.2.1. Bicarakan kegagalan yang pernah dialami klien dan
sebab-sebaba kegagalan
3.2.2. Kaji bagaimana respon klien terhadap kegagalan tersebut
dan cara mengatasi
3.2.3. Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang dialami dapat
menjadi pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang
mungkin terjadi dimasa yang akan datang
4.1.1. Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin dicapai
4.1.2. Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan
kemampuan klien
4.1.3. Bantu klien memilih prioritas tujuan yang mungkin dapat
dicapainya
4.2.1. Beri kesempatan kepada klien untuk melakukan kegiatan
yang telah dipilih
4.2.2. Tunjukkan keterampilan atau keberhasilan yang telah
dicapai klien
4.2.3. Ikutsertakan klien dalam kegiatan aktivitas kelompok
4.2.4. Beri reinforcement postif bila klien mau mengikuti
kegiatan kelompok
5.1.1. Diskusikan dengan keluarga tanda-tanda harga diri
rendah
5.1.2. Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mengenal dan
menghargai kemampuan tiap anggota keluarga
5.2.1 Diskusikan dengan keluarga cara berespons terhadap
klien dengan harga diri rendah seperti menghargai klien,
tidak mengejek, tidak menjauhi
5.2.2 Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kesempatan
berhasil pada klien
5.2.3 Anjurkan keluarga untuk menerima klien apa adanya
5.2.4 Anjurkan keluarga untuk melibatkan klien dalam setiap
pertemuan keluarga
f. Penatalaksanaan regimen teraupetik inefektif berhubungan dengan ketidak
mampuan keluarga merawat klien
Tujuan Umum : Penatalaksanaan regimen teraupetik efektif
Tujuan Khusus :
1. Keluarga dapat mengetahui masalah yang ditemukan dalam merawat
klien di rumah dengan cara mengungkapkan perasaannya
2. Keluarga dapat mengambil keputusan untuk melakukan tindakan
kesehatan dalam merawat klien dengan mengidentifikasikan sumbersumber
koping yang dimiliki
3. Keluarga dapat menggunakan koping yang telah dipilih dalam merawat
anggota keluarga yang sakit
4. Keluarga dapat memodifikasi lingkungan keluarga yang sehat dalam
merawat klien di rumah
5. Keluarga dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
di masyarakat
Kriteria Evaluasi :
1. Keluarga mengungkapkan perasaannya secara verbal
2. Keluarga mengidentifikasi sumber-sumber koping yang ada
3. Keluarga mengungkapkan secara verbal koping apa yang akan dipilih
4. Keluarga mengidentifikasi lingkungan yang sehat dalam merawat klien
5. Keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada
dimasyarakat.
Intervensi :
1.1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga dan anggota
keluarga yang lain :
! Terima anggota keluarg apa adanya
! Dengarkan keluhan keluarga dengan empati
! Hindari respon mengkritik/menyalahkan saat keluarga
mengekspresikan perasaannya
1.2. Buat kontrak dengan keluarga untuk bertemu (home visite) yaitu :
! Jelaskan tujuan kunjungan
! Jelaskan identitas perawat
1.3. Dorong keluarga untuk mengespresikan perasaannya dalam
merawat klien
2.1. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan/koping yang selama
ini telah digunakan oleh keluarga
2.2. Beri reinforcement positip bila keluarga mengemukakan tindakan
positip dan berhasil
2.3. Diskusikan dengan keluarga tentang alternatif koping
adaptif/sumber pendukung dalam menangani masalah perawatan
klien
3.1. Diskusikan dengan anggota keluarga cara yang selama ini yang
dilakukan dalam merawat klien
3.2. Berikan reinforcement positip setiap anggota keluarga
mengemukakan tindakan yang benar dan berhasil
3.3. Jelaskan pada keluarga tentang berbagai cara yang adaptif dalam
merawat klien seperti :
! Bersikap asertif
! Komunikasi terbuka
! Tidak bermusuhan/mengkritik
! Memenuhi kebutuhan klien yang masih dapat ditoleransi seperti :
pakaian, alat-alat kebersihan diri
! Libatkan klien dalam kegiatan keluarga
4.1. Motivasi keluarga untuk menerima klien apa adanya dengan cara :
! Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengejek dan merendahkan
! Membantu klien dalam diskusi keluarga
! Menghargai klien dan memuji setiap usaha yang adaptif
4.2. Diskusikan dengan keluarga untuk menyediakan perlengkapan yang
diperlukan klien sehari-hari seperti :
! Peralatan kebersihan diri
! Alat-alat makan
! Usahakan tidak membedakan barang milik klien dengan anggota
keluarga yang lain
4.3. Diskusikan dengan keluarga untuk melatih kemampuan klien dalam
menyelesaikan masalah mulai dari yang sederhana sampai masalah
kompleks
5.1. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas pelayanan kesehatan
yang ada dan sejauh mana keluarga telah memanfaatkannya
5.2. Jelaskan pada keluarga tentang kegunaan dan efek samping obat
serta pentingnya keteraturan minum obat
g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan menarik diri
Tujuan Umum : Pasien dapat menunjukkan kemampuan dalam melakukan
komunikasi verbal dengan perawat dan sesama pasien
dalam suatu lingkungan sosial dengan cara yang tepat
Tujuan Khusus :
1. Pasien dapat menunjukkan kemampuan untuk bertahan pada satu topik
2. Pasien dapat menggunakan ketepatan kata
3. Pasien dapat melakukan kontak mata intermitten selama 5 menit
dengan perawat dalam waktu 1 minggu
Kriteria Evaluasi :
1. Pasien dapat berkomunikasi dengan cara mendapat dimengerti orang
lain
2. Pesan non verbal pasien sesuai dengan verbalnya
3. Pasien dapat mengetahui bahwa disorganisasi pikiran dan kelainan
komunikasi verbal terjadi pada saat adanya peningkatan ansietas
melakukan kontak kepada pasien untuk memutuskan proses.
Intervensi :
1. Gunakan tehnik validasi dan klarifikasi untuk mengerti pola komunikasi
pasien
2. Pertahankan konsistensi perawat yang bertugas
3. Jelaskan kepada pasien dengan cara yang dapat mengancam
bagaimana prilaku dan pembicaraannya diterimia dan mungkin juga
dihindari oleh orang lain
4. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien sampai pola komunikasi yang
memuaskan kembali
h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan panik
Tujuan Umum : Pasien mampu tidur dalam 30 menit istirahat dan tidur 6-
8 jam tanpa alat bantu tidur saat pulang
Tujuan Khusus :
1. Klien mampu membina hubungan saling percaya
2. Klien mampu mengenal prilaku panik
3. Klien dapat tidur dalam 30 menit istirahat dan tidur 5 jam tanpa
terbangun
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat tidur dalam 30 menit setelah istirahat
2. Klien dapat tidur paling sedikit 6 jam berturut-turut
3. Pasien dapat menggunakan sedatif untuk membantu tidur
Intervensi :
1. Buat catatan secara rinci tentang pola tidur pasien
2. Berikan obat-obatan anti psikotik sebelum tidur
3. Bantu dengan tindakan-tindakan yang dapat menambah waktu tidur,
kehangatan dan minuman yang tidak merangsang
4. Lakukan latihan relaksasi menggunakan musik yang lembut sebelum
tidur mungkin membantu
5. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein
i. Koping individu tak efektif berhubungan dengan rendah diri
Tujuan Umum : Klien dapat mendemonstrasikan lebih banyak penggunaan
keterampilan koping adaptif yang dibuktikan oleh adanya
kesesuaian antara interaksi dan keinginan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat
Tujuan Khusus :
1. Pasien akan mengembangkan rasa percaya kepada 1 orang perawat
dalam 1 minggu
Kriteria Evaluasi :
1. Klien dapat menilai situasi realistis dan tidak melakukan tindakan
proyeksi perasaannya dalam lingkungan tersebut
2. Klien dapat mengakui dan mengklarifikasi kemungkinan salah
interpretasi terhadap prilaku dan perkataan orang lain
3. Klien dapat berinteraksi secara kooperatif
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya
2. Hindari kontak fisik
3. Motivasi klien untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya dan
perawat menghindari sikap penolakan terhadap perasaan marah pasien
4. Jangan berikan kegiatan yang bersifat kompetitif.
BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan
keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi
ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan
secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat
menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang
diberikan.
2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan
halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem
pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu
perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam
memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi
perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa
peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan
klien.
Saran-saran
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti
langkah-langkah proses keperawatan dan melaksanakannya secara sistematis
dan tertulis agar tindakan berhasil dengan optimal
2. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan
pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan
saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik
dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan
3. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit,
sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan dapat
membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan keperawatan bagi
klien.
DAFTAR PUSTAKA
Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori
dan Tindakan Keperawatan Jiwa,
Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC,
Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC,
Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press,
Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV.
Sagung Seto,
Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997
Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC,
schizophrenia treatment
REFERENSI
Keliat, Budi Anna, dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Maslim, Rusdi. 1998. Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta
Stuart, Gail W.2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama
Isaac, A. Alih bahasa : Rahayunigsih, D. P. 2005. Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC