DI BLOG MATA KULIAH KEPERAWATAN JIWA II
KELOMPOK 2

Staf Pengajar Bagian Keperawatan Jiwa FIK UNPAD

Staf Pengajar Bagian Keperawatan Jiwa FIK UNPAD
Ibu Efri, Ibu Tati, Pak Iyus, Ibu Suryani, Ibu Imas dan Ibu Aat

About Me

Foto saya
Merupakan Kelompok dari Mata Kuliah Kep.Jiwa 2 Terdiri dari: Ramdani, Ratih Puji Lestari, Dessi Yuliani, Anggi Megawati, Ingrit Ratna Furi, Rizky Yeni, Dwiana Wima

TEMA BLOG KAMI

GANGGUAN ORIENTASI REALITA DAN SKIZOFRENIA
SERTA GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL

1. Diagnosa Keperawatan

  • perubahan persepsi sensori (halusinasi)
  • perubahan proses pikir (waham)
  • kerusakan komunikasi verbal
  • kerusakan interaksi sosial
  • isolasi sosial
  • perilaku kekerasan
  • resiko mencederai/membahayakan
  • gangguan harga diri

2. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Gangguan Komunikasi

  • tidak mengartikan suatu simbolik
  • ciptakan perilaku yang dapat dimengerti bersama
  • sensitif terhadap komunikasi non verbal
  • perawat sadar diri
  • komunikasi terapeutik
  • sentuhan
  • manajemen penolakan intim
  • komunikasi terstruktur
  • umpan balik

3. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Curiga

  • membina hubungan saling percaya
  • sikap terapeutik
  • kaji kemampuan, minat, dukungan, observasi sumber dukungan, bimbing klien membina hubungan umpan balik, dorong hubungan sosial
  • pemberian obat
  • pemenuhan kebutuhan dasar

4. Prinsip Intervensi Keperawatan pada Menarik Diri

  • memenuhi kebutuhan dasar
  • komunikasi verbal dan non verbal
  • mengikutsertakan orang lain
  • intervensi keluarga
  • terminasi
  • pengambilan keputusan

5. Prinsip Intervensi Keperawatan untuk Meningkatkan Harga Diri

  • ungkapkan perasaan
  • hargai perasaan klien
  • identifikasi kemampuan klien
  • umpan balik
  • bimbing klien melakukan kegiatan

6. Prinsip Intervensi Keperawatan untuk Melindungi klien

  • pengawasan ketat
  • jelaskan tindakan
  • kolaborasi

GANGGUAN ORIENTASI REALITA PADA SKIZOFRENIA
Menurut Keliat (1998), gangguan orientasi realita adalah ketidakmampuan klien menilai dan berespon pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan kenyataan. Klien tidak mampu memberikan respon secara akurat, sehingga tampak perilaku yang sukar dimengerti dan mungkin menakutkan. Hal ini disebabkan karena terganggunya fungsi kognitif dan proses pikir, fungsi persepsi, fungsi emosi, fungsi motorik dan fungsi sosial. Gangguan pada fungsi kognitif dan persepsi mengakibatkan kemampuan menilai dan menilik terganggu. Gangguan fungsi emosi, motorik dan sosial mengakibatkan kemampuan berespon terganggu yang tampak dari perilaku non verbal (ekspresi muka, gerakan tangan) dan perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
Gejala - gejala yang sering ditemukan adalah :
  1. penampilan diri yang tidak rapi, tidak serasi/cocok dan berubah dari biasanya
  2. pembicaraan tidak terorganisir dan bentuknya yang maladaptif seperti kehilangan hubungan, tidak logis, berbelit - belit
  3. aktivitas motorik meningkat atau menurun, impulsif, kataton, dan bizar
  4. alam perasaan dapat berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor presipitasi misalnya sedih dan putus asa disertai perilaku apatis
  5. afek merupakan perilaku yang tampak yang diekspresikan pada saat klien mengalami perasaan emosi tertentu
  6. sikap klien bermusuhan, mudah tersinggung dan curiga yang terkait dengan wahamnya
  7. persepsi adalah kemampuan mengidentifikasi dan menginterpretasi stimulus sesuai dengan informasi yang diterima melalui panca indera. Halusinasi merupakan salah satu respon orientasi realita yang maladaptif. Halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya kien menginterpretasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/rangsang dari luar. Kien dengan skizofrenia, 70% mengalami halusinasi dan 90% mengalami waham (Stuart and Sundeen, 1995)
  8. proses pikir, proses informasi yang tidak baik akan mempengaruhi proses pikir. Dalam komunikasi mungkin inkoheren, tidak berhubungan, berbelit dan tidak logis
  9. isi pikir, dapat diidentifikasi dengan adanya waham

Semaraknya aliran sesat saat ini, membuat saya ingin sekali mengungkapkan apa itu waham atau delusi. Dalam ilmu kedokteran jiwa, dikatakan bahwa waham sering dijumpai pada penderita gangguan mental yang merupakan salah satu dari gejala gangguan isi pikir. Waham atau delusi merupakan keyakinan palsu yang timbul tanpa stimulus luar yang cukup dan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Tidak realistik, Tidak logis, Menetap, Egosentris, Diyakini kebenarannya oleh penderita, Tidak dapat dikoreksi, Dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata, Penderita hidup dalam wahamnya itu, Keadaan atau hal yang diyakini itu bukan merupakan bagian sosiokultural setempat Waham ada berbagai macam, yaitu :


  • Waham kendali pikir (thought of being controlled). Penderita percaya bahwa pikirannya, perasaan atau tingkah lakunya dikendalikan oleh kekuatan dari luar.
  • Waham kebesaran (delusion of grandiosty). Penderita mempunyai kepercayaan bahwa dirinya merupakan orang penting dan berpengaruh, mungkin mempunyai kelebihan kekuatan yang terpendam, atau benar-benar merupakan figur orang kuat sepanjang sejarah (misal : Jendral Sudirman, Napoleon, Hitler, dll).
  • Waham Tersangkut. Penderita percaya bahwa setiap kejadian di sekelilingnya mempunyai hubungan pribadi seperti perintah atau pesan khusus. Penderita percaya bahwa orang asing di sekitarnya memperhatikan dirinya, penyiar televisi dan radio mengirimkan pesan dengan bahasa sandi.
  • Waham bizarre, merupakan waham yang aneh. Termasuk dalam waham bizarre, antara lain : Waham sisip pikir/thought of insertion (percaya bahwa seseorang telah menyisipkan pikirannya ke kepala penderita); waham siar pikir/thought of broadcasting (percaya bahwa pikiran penderita dapat diketahui orang lain, orang lain seakan-akan dapat membaca pikiran penderita); waham sedot pikir/thought of withdrawal (percaya bahwa seseorang telah mengambil keluar pikirannya); waham kendali pikir;waham hipokondri
  • Waham Hipokondri. Penderita percaya bahwa di dalam dirinya ada benda yang harus dikeluarkan sebab dapat membahayakan dirinya.
  • Waham Cemburu. Cemburu disini adalah cemburu yang bersifat patologis
  • Waham Curiga. Curiga patologis sehingga curiganya sangat berlebihan
  • Waham Diancam. Kepercayaan atau keyakinan bahwa dirinya selalu diikuti, diancam, diganggu atau ada sekelompok orang yang memenuhinya.
  • Waham Kejar. Percaya bahwa dirinya selalu dikejar-kejar orang
  • Waham Bersalah. Percaya bahwa dirinya adalah orang yang bersalah
  • Waham Berdosa. Percaya bahwa dirinya berdosa sehingga selalu murung
  • Waham Tak Berguna. Percaya bahwa dirinya tak berguna lagi sehingga sering berpikir lebih baik mati (bunuh diri)
  • Waham Kiskin. Percaya bahwa dirinya adalah orang yang miskin.

Pernah ngetawain orang gila?

Pernah ngeledekin orang gila?

Pernah mukulin orang gila?

Atau…

Pernah berpikir bahwa orang gila adalah orang yang terkena kutukan?

Harus dijauhi?

Diasingkan?

Dan bahkan terpikir bahwa mereka sebaiknya tidak ada di dunia ini…

Jika iya,

Maka…

Andalah yang gila

Dan perlu diobati jiwanya!!!

Ekstreeeem?

Hmmm, aku pikir juga begitu.

Tapi itu dulu..

Sudah banyak penelitian yang mengemukakan bahwa pada orang-orang dengan psikosis (gangguan jiwa berat, termasuk didalamnya skizofrenia) mengalami kelainan di otak mereka yang berhubungan dengan fungsi bagian-bagian tertentu di otak. Cukup ribetlah kalo disini kita ngebahas patofisiologi nya (mempelajari proses terjadinya penyakit).

Jadi ketika mereka menunjukkan sikap dan tingkah laku yang abnormal, pada prinsipnya itu terjadi karena ada kesalahan bentuk pikir dalam menilai realita. Mereka berada dalam posisi yang sulit untuk membedakan antara realita dan yang bukan realita.

Memang faktor psikososial dan genetik juga ternyata berpengaruh di dalamnya. Namun segala sesuau yang terjadi dalam tubuh manusia bukanlah ilmu matematika yang mempunyai hitungan pasti. Banyak faktor yang berpengaruh secara simultan disana.

Nah, ada pertanyaan dari seorang psikiater:

“kalau kamu dicolek orang psikosis (gangguan jiwa berat), kamu marah tidak?”

Waktu itu para co-ass menjawab dengan jawaban yang hampir kompak: “marah tho ya…”.

“kalau kalian jawab begitu saat ujian, kalian langsung TIDAK LULUS!!!” kata beliau

Why?

Ada yang dinamakan tingkah laku impulsif pada orang psikosis. Dimana tingkah laku tersebut didasari oleh keinginan hawa nafsu tanpa rem. Ya, jadi mereka memang tidak bisa mengendalikan kehendak mereka sendiri. Itulah mengapa mereka bisa marah hebat, mengamuk, dan melakukan tindakan tidak senonoh…

Terus gimana dong ketika menghadapi mereka?

Ya, tetap waspada.

Dan berdoa…

PENDAHULUAN

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi. Bentuk

halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling

sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna.

Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang

dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan

suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau

bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya

bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap

tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya

bersifat tiduran, ancaman dan lain-lain.

Persepsimerupakan respon dari reseptor sensoris terhadap stimulus esksternal

,juga pengenalan dan pemahaman terhadap sensoris yang diinterpretasikan oleh

stimulus yang diterima. Jika diliputi rasa kecemasan yang berat maka kemampuan

untuk menilai realita dapat terganggu. Persepsi mengacu pada respon reseptor

sensoris terhadap stimulus. Persepsi juga melibatkan kognitif dan pengertian

emosional akan objek yang dirasakan. Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses

sensori penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan pengecapan.

Menurut May Durant Thomas (1991) halusinasi secara umum dapat ditemukan

pada pasien gangguan jiwa seperti: Skizoprenia, Depresi, Delirium dan kondisi yang

berhubungan dengan penggunaan alcohol dan substansi lingkungan.

Berdasarkan hasil pengkajian pada pasien dirumah sakit jiwa Medan ditemukan

85% pasien dengan kasus halusinasi. Sehingga penulis merasa tertarik untuk menulis

kasus tersebut dengan pemberian Asuhan keperawatan mulai dari pengkajian sampai

dengan evaluasi.


LANDASAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI

1. PENGERTIAN

a. Persepsi

Adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan

dimengerti penginderaan/sensasi : proses penerimaan rangsang. Jadi

gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan

antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan,

sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud

bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan

mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya.

Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara

fantasi dan kenyataaan. Mereka dalap menggunakan proses pikir yang

logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta

mengevaluasinya secara akurat. Jika ego diliputi rasa kecemasan yang

berat maka kemampuan untuk menilai realitas dapat terganggu. Persepsi

mengacu pada respon reseptor sensoris terhadap stimulus eksternal.

Misalnya sensoris terhadap rangsang, pengenalan dan pengertian akan

perasaan seperti : ucapan orang, objek atau pemikiran. Persepsi

melibatkan kognitif dan pengertian emosional akan objek yang dirasakan.

Gangguan persepsi dapat terjadi pada proses sensoris dari pendengaran,

penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Gangguan ini dapat

bersifat ringan, berat, sementara atau lama. (Harber, Judith, 1987, hal

725)

b. Halusinasi

Merupakan salah satu gangguan persepsi, dimana terjadi pengalaman

panca indera tanpa adanya rangsangan sensorik (persepsi indra yang

salah). Menurut Cook dan Fotaine (1987), halusinasi adalah persepsi

sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi

tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem

penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan atau

pengecapan), sedangkan menurut Wilson (1983), halusinasi adalah

gangguan penyerapan/persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari

luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat

kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut

terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari

individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak

nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan.

2. E T I O L O G I

Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada

klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan

delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan

alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan

epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi

juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang

meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik,

sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi

sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat

keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi,

perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya

permasalahan pada pembicaraan.

Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun

banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis ,

sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis ,

pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.

3. PSIKOPATOLOGI

Halusinasi merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan

persepsi. Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau

mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam

bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan

mengenai keadaan pasien sendiri atau yang dialamatkan pada pasien itu,

akibatnya pasien bisa bertengkar atau bicara dengan suara halusinasi itu.

Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap mendengar atau bicara-bicara

sendiri atau bibirnya bergerak-gerak.

Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori

yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik,

fisiologik dan lain-lain.Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga

yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari

dalam tubuh ataupun dari luar tubuh.Input ini akan menginhibisi persepsi

yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau

tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau

patologis,maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscius

bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.

Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya

keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya

kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi

diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.

4. MANIFESTASI KLINIK

Tahap I

! Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai

! Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara

! Gerakan mata yang cepat

! Respon verbal yang lambat

! Diam dan dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan

Tahap II

! Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya

peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah

! Penyempitan kemampuan konsenstrasi

! Dipenuhi dengan pengalaman sensori dan mungkin kehilangan kemampuan

untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.

Tahap III

! Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari

pada menolaknya

! Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain

! Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik

! Gejala fisik dari ansietas berat seperti berkeringat, tremor,

ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk

Tahap IV

! Prilaku menyerang teror seperti panik

! Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain

! Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk, agitasi,

menarik diri atau katatonik

! Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks

! Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang

B. ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI :

HALUSINASI

Klien yang mengalami halusinasi sukar untuk mengontrol diri dan sukar

untuk berhubungan dengan orang lain. Untuk itu perawat harus mempunyai

kesadaran yang tinggi agar dapat mengenal, menerima dan mengevaluasi

perasaan sendiri sehingga dapat menggunakan dirinya secara terapeutik dalam

memberikan asuhan keperawatan terhadap klien halusinasi perawat harus

bersikap jujur, empati, terbuka dan selalu memberi penghargaan namun tidak

boleh tenggelam juga menyangkal halusinasi yang klien alami. Asuhan

keperawatan tersebut dimulai dari tahap pengkajian sampai dengan evaluasi.

1. Pengkajian

Pada tahap ini perawat menggali faktor-faktor yang ada dibawah ini yaitu :

a. Faktor predisposisi.

Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang

dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor

perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu faktor

resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat

dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

! Faktor Perkembangan

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan

interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan

kecemasan

! Faktor Sosiokultural

Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa

disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di

besarkan.

! Faktor Biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan

adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh

akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia

seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP)

©2003 Digitized by USU digital library 5

! Faktor Psikologis

Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran

ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan

mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan

gangguan orientasi realitas.

! Faktor genetik

Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui,

tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan

hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

b. Faktor Presipitasi

Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,

ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya

rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam

kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan

juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya

halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan

yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.

c. Prilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,

perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang

perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat

membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan

Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan

atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun

atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat

dilihat dari lima dimensi yaitu :

1. Dimensi Fisik

Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi

rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat

ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar

biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi

alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.

2. Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak

dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari

halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak

sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi

tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.

3. Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu

dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.

Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk

melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang

menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian

klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.

4. Dimensi Sosial

Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan

adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan

halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi

kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak

didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol

oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa

ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh

karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan

klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan

pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien

tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan

lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.

5. Dimensi Spiritual

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga

interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang

mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses

diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan

halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat

halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan

dirinya.

d. Sumber Koping

Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu

dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping

dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan

masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu

seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan

mengadopsi strategi koping yang berhasil.

e. Mekanisme Koping

Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya

penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang

digunakan untuk melindungi diri

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Masalah yang dapat dirumuskan pada umumnya bersumber dari apa

yang klien perlihatkan sampai dengan adanya halusinasi dan perubahan yang

penting dari respon klien terhadap halusinasi.

Adapun diagnosa keperawatan yang mungkin terjadi pad aklien dengan

halusinasi adalah sebagai berikut :

a. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan

dengan halusinasi

b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri

c. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

d. Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan berhubungan dengan

ketidakmampuan dalam merawat diri

e. Perubahan proses pikir : Waham berhubungan dengan harga diri rendah

kronis

f. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif berhubungan dengan koping

keluarga tak efektif

g. Kerusakan komunikasi verbal

h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan halusinasi

i. Koping individu tidak efektif

3. PERENCANAAN TINDAKAN

a. Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang lain berhubungan

dengan halusinasi

Tujuan Umum : Tidak terjadi perilaku kekerasan pada diri sendiri dan orang

lain.

Tujuan khusus :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasinya

3. Klien dapat mengontrol halusinasinya

4. Klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol halusinasinya

5. Klien dapat menggunakan obat untuk mengontrol halusinasinya

Kriteria Evaluasi :

Klien dapat :

1. Mengungkapkan perasaannya dalam keadaan saat ini secara verbal

2. Menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan saat halusinasi, cara

memutuskan halusinasi dan melaksanakan cara yang efektif bagi klien

untuk digunakan

3. Menggunakan keluarga untuk mengontrol halusinasi dengan cara sering

berinteraksi dengan keluarga

4. Menggunakan obat dengan benar

Intervensi :

1.1. Bina Hubungan saling percaya

1.1.1. Salam terapeutik

1.1.2. Perkenalkan diri

1.1.3. Jelaskan tujuan interaksi

1.1.4. Ciptakan lingkungan yang tenang

1.1.5. Buat kontrak yang jelas

1.2. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya

1.3. Dengarkan ungkapan klien dengan empati

1.4. Adakan kontak secara singkat tetapi sering secara bertahap (waktu

disesuaikan dengan kondisi klien)

1.5. Observasi tingkah laku : verbal dan non verbal yang berhubungan

dengan halusinasi

1.6. Jelaskan pada klien tanda-tanda halusinasi dengan menggambarkan

tingkah laku halusinasi

1.7. Identifikasi bersama klien situasi yang menimbulkan dan tidak

menimbulkan halusinasi, isi, waktu, frekuensi

1.8. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya saat

alami halusinasi.

2.1. Identifikasi bersama klien tindakan yang dilakukan bila sedang

mengalami halusinasi.

3.1. Diskusikan cara-cara memutuskan halusinasi

3.2. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan cara

memutuskan halusinasi yang sesuai dengan klien

3.3. Anjurkan klien untuk mengikuti terapi aktivitas kelompok

4.1. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga ketika mengalami

halusinasi

4.2. Lakukan kunjungan rumah : Diskusikan dengan keluarga tentang :

4.2.1 Halusinasi klien

4.2.2 Cara memutuskan kelompok

4.2.3 Cara merawat anggota keluarga halusinasi

4.2.4 Cara memodifikasi lingkungan untuk menurunkan kejadian

halusinasi

4.2.5 Cara memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan pada saat

mengalami halusinasi

5.1. Diskusikan dengan klien tentang manfaat obat untuk mengontrol

halusinasi

5.2. Bantu klien menggunakan obat secara benar

b. Perubahan persepsi sensorik : halusinasi berhubungan dengan menarik diri

Tujuan Umum : Klien mampu mengontrol halusinasinya

Tujuan Khusus :

1. Klien mampu membina hubungan saling percaya

2. Klien mampu mengenal prilaku menarik dirinya, misalnya menyebutkan

perilaku menarik diri

3. Klien mampu mengadakan hubungan/sosialisasi dengan orang lain :

perawat atau klien lain secara bertahap

4. Klien dapat menggunakan keluarga dalam mengembangkan

kemampuan berhubungan dengan orang lain

Kriteria Evaluasi :

1. Klien dapat dan mau berjabat tangan. Dengan perawat mau

menyebutkan nama, mau memanggil nama perawat dan mau duduk

bersama

2. Klien dapat menyebutkan penyebab klien menarik diri

3. Klien mau berhubungan dengan orang lain

4. Setelah dilakukan kunjungan rumah klien dapat berhubungan secara

bertahap dengan keluarga

Intervensi :

1.1. Bina hubungan saling percaya

1.1.1 Buat kontrak dengan klien

1.1.2 Lakukan perkenalan

1.1.3 Panggil nama kesukaan

1.1.4 Ajak klien bercakap-cakap dengan ramah

2.1. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya

serta beri kesempatan pada klien mengungkapkan

perasaan penyebab klien tidak mau bergaul/menarik diri

2.2. Jelaskan pada klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta

yang mungkin jadi penyebab

2.3. Beri pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaan

3.1. Diskusikan tentang keuntungan dari berhubungan

3.2. Perlahan-lahan serta klien dalam kegiatan ruangan dengan melalui

tahap-tahap yang ditentukan

3.3. Beri pujian atas keberhasilan yang telah dicapai

3.4. Anjurkan klien mengevaluasi secara mandiri manfaat dari

berhubungan

3.5. Diskusikan jadwal harian yang dapat dilakukan klien mengisi

waktunya

3.6. Motivasi klien dalam mengikuti aktivitas ruangan

3.7. Beri pujian atas keikutsertaan dalam kegiatan ruangan

4.1 Lakukan kungjungan rumah, bina hubungan saling percaya dengan

keluarga

4.2 Diskusikan dengan keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab

dan cara keluarga menghadapi

4.3 Dorong anggota keluarga untuk berkomunikasi

4.4 Anjurkan anggota keluarga secara rutin menengok klien minimal

sekali seminggu

c. Isolasi sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah

Tujuan Umum : Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara

bertahap

Tujuan Khusus :

Klien dapat :

1. Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki

2. Menilai kemampuan diri yang dapat dipergunakan

3. Klien mampu mengevaluasi diri

4. Klien mampu membuat perencanaan yang realistik untuk dirinya

5. Klien mampu bertanggung jawab dalam tindakan

Kriteria Evaluasi :

1. Klien dapat menyebut minimal 2 aspek positip dari segi fisik

2. Klien dapat menyebutkan koping yang dapat digunakan

3. Klien dapat menyebutkan efektifitas koping yang dipergunakan

4. Klien mampu memulai mengevaluasi diri

5. Klien mampu membuat perencanaan yang realistik sesuai dengan

kemampuan yang ada pada dirinya

6. Klien bertanggung jawab dalam setiap tindakan yang dilakukan sesuai

dengan rencanan

Intervensi :

1.1. Dorong klien untuk menyebutkan aspek positip yang ada pada

dirinya dari segi fisik

1.2. Diskusikan dengan klien tentang harapan-harapannya

1.3. Diskusikan dengan klien keterampilannya yang menonjol selama di

rumah dan di rumah sakit

1.4. Berikan pujian

2.1. Identifikasi masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh klien

2.2. Diskusikan koping yang biasa digunakan oleh klien

2.3. Diskusikan strategi koping yang efektif bagi klien

3.1. Bersama klien identifikasi stressor dan bagaimana penialian klien

terhadap stressor

3.2. Jelaskan bahwa keyakinan klien terhadap stressor mempengaruhi

pikiran dan perilakunya

3.3. Bersama klien identifikasi keyakinan ilustrasikan tujuan yang tidak

realistik

3.4. Bersama klien identifikasi kekuatan dan sumber koping yang dimiliki

3.5. Tunjukkan konsep sukses dan gagal dengan persepsi yang cocok

3.6. Diskusikan koping adaptif dan maladaptif

3.7. Diskusikan kerugian dan akibat respon koping yang maladaptif

4.1. Bantu klien untuk mengerti bahwa hanya klien yang dapat merubah

dirinya bukan orang lain

4.2. Dorong klien untuk merumuskan perencanaan/tujuannya sendiri

(bukan perawat)

4.3. Diskusikan konsekuensi dan realitas dari perencanaan/tujuannya

4.4. Bantu klien untuk menetpkan secara jelas perubahan yang

diharapkan

4.5. Dorong klien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang

sesuai potensi yang ada pada dirinya

5.1. Beri kesempatan kepada klien untuk sukses

5.2. Bantu klien mendapatkan bantuan yang diperlukan

5.3. Libatkan klien dalam kegiatan kelompok

5.4. Tingkatkan perbedaan diri pada klien didalam keluarga sebagai

individu yang unik

5.5. Beri waktu yang cukup untuk proses berubah

5.6. Beri dukungan dan reinforcement positip untuk membantu

mempertahankan kemajuan yang sudah dimiliki klien

d. Defisit perawatan diri : Mandi / kebersihan diri berhubungan dengan

ketidak mampuan dalam merawat diri

Tujuan Umum : Klien mampu melaksanakan perawatan diri dengan baik

sehingga penampilan diri adekuat

Tujuan Khusus :

Klien mampu :

1. Menjelaskan arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri

2. Mengidentifikasi kebersihan dirinya

3. Menjelasakan cara-cara membersihkan dirinya

4. Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat

5. Melakukan perawatan diri secara mandiri

6. Memberdayakan sistem pendukung untuk meningkatkan perawatan diri

Kriteria Evaluasi :

Klien mampu :

1. Menyebutkan arti kebersihan diri

2. Menyebutkan tujuan kebersihan diri (untuk memelihara kesehatan

tubuh dan badan terasa segar/nyaman)

3. Menyebutkan tanda-tanda kebersihan diri : kulit tidak ada daki dan

tidak berbau, rambut tidak ada ketombe, kutu, tidak ada bau dan

tersisir rapi, kuku pendek dan bersih, mulut/gigi tidak bau, genitalia

tidak gatal dan mata tidak ada kotoran

4. Menilai keadaan kebersihan dirinya

5. Menyebutkan cara-cara membersihkan diri dari rambut sampai kaki

6. Mendemonstrasikan cara membersihkan diri secara benar dengan

bantuan perawat

7. Melakukan perawatan diri secara mandiri dengan benar dan tersusun

jadwal kegiatan untuk kebersihan diri

8. Keluarga mampu menyebutkan cara meningkatkan kebersihan diri klien

dan keluarga dapat membantu/terlibat aktif dalam memelihara

kebersihan diri

Intervensi :

1.1. Dorong klien untuk menyebutkan arti, tujuan dan tanda-tanda

kebersihan diri

1.2. Diskusikan tentang arti, tujuan, tanda-tanda kebersihan diri

1.3. Dengarkan keluahan klien dengan penuh perhatian dan empati

1.4. Berikan pujian apabila klien menyebutkan secara benar

2.1. Bantu klien menilai kebersihan dirinya

2.2. Berikan pujian atas kemampuan klien menilai dirinya

3.1. Dorong klien menyebutkan alat-alat dan cara membersihkan diri

3.2. Diskusikan tentang alat-alat dan cara membersihkan diri

3.3. Menjelasakan cara-cara membersihkan diri

3.4. Melakukan perawatan diri dengan bantuan perawat

4.1. Demonstrasikan pada klien cara-cara membersihkan diri

4.2. Bimbing klien mendemonstrasikan kembali cara-cara membersihkan

diri

4.3. Dorong klien membersihkan diri sendiri dengan bantuan

4.4. Melakukan perawatan diri secara mandiri

5.1. Berikan kesempatan klien untuk membersihkan diri sendiri secara

bertahap sesuai dengan kemampuan

5.2. Dorong klien mengungkapkan manfaat yang dirasakan setelah

membersihkan diri

5.3. Beri penguatan positif atas perawatan klien

5.4. Bimbing klien membuat jadwal kegiatan untuk membersihkan diri

5.5. Bimbing klien membersihkan diri sesuai jadwal secara mandiri

5.6. Monitor kemampuan klien membersihkan diri sesuai jadwal

6.1. Diskusikan dengan keluarga tentang ketidakmampuan klien dalam

merawat diri

6.2. Diskusikan cara membantu klien membersihkan diri

6.3. Libatkan keluarga dalam perawatan kebersihan diri klien

6.3.1 Menyediakan alat-alat

6.3.2 Membantu klien membersihkan diri

6.3.3 Memonitor pelaksanaan jadwal

6.4. Beri pujian

e. Perubahan proses pikir : Waham somatis berhubungan dengan harga diri

rendah kronis

Tujuan Umum : Klien mampu berhubungan dengan orang lain tanpa

merasa rendah diri

Tujuan Khusus :

1. Klien dapat memperluas kesadaran diri

2. Klien dapat menyelidiki dirinya

3. Klien dapat mengevaluasi dirinya

4. Klien dapat membuat rencana yang realistis

5. Klien mendapat dukungan keluarga yang meningkatkan harga dirinya

Kriteria Evaluasi :

1. Klien dapat menyebutkan kemampuan yang ada pada dirinya setelah 1

kali pertemuan

2. Klien dapat menyebutkan kelemahan yang dimiliki dan tidak menjadi

halangan untuk mencapai keberhasilan

3. Klien dapat menyebutkan cita-cita dan harapan yang sesuai dengan

kemampuannya setelah 1 kali pertemuan

4. Klien dapat menyebutkan keberhasilan yang pernah dialami setelah 1

kali pertemuan

5. Klien dapat menyebutkan kegagalan yang pernah dialami setelah 4 kali

pertemuan

6. Klien dapat menyebutkan tujuan yang ingin dicapai setelah 1 kali

pertemuan

7. Klien dapat membuat keputusan dan mencapai tujuan setelah 1 kali

pertemuan

8. Keluarga dapat menyebutkan tanda-tanda harga diri rendah :

! Mengatakan diri tidak berharga

! Tidak berguna dan tidak mampu

! Pesimis

! Menarik diri dari realita

9. Keluarga dapat berespon dan memperlakukan klien dengan harga diri

rendah secara tepat setelah 2 kali pertemuan

Intervensi :

1.1.1. Diskusikai dengan klien kelebihan yang dimiliknya

1.2.1. Diskusikan kelemahan yang dimilik klien

1.2.2. Beritahu klien bahwa manusia tidak ada yang sempurna,

semua memiliki kelebihan dan kekurangan

1.2.3. Beritahu klien bahwa kekurangan bisa ditutup dengan

kelebihan yang dimiliki

1.2.4. Anjurkan klien untuk lebih meningkatkan kelebihan yang

dimiliki

1.2.5. Beritahukan klien bahwa ada hikmah dibalik kekurangan

yang dimiliki

2.1.1. Diskusikan dengan klien ideal dirinya : Apa harapan

selama di RS, rencana klien setelah pulang dan apa citacita

yang ingin dicapai

2.1.2. Beri kesempatan klien untuk berhasil

2.1.3. Beri reinforcement positip terhadap keberhasilan yang

telah dicapai

3.1.1. Bantu klien mengidentifikasikan kegiatan atau keinginan yang berhasil dicapai

3.1.2. Kaji bagaimana perasaan klien dengan keberhasilan

tersebut

3.2.1. Bicarakan kegagalan yang pernah dialami klien dan

sebab-sebaba kegagalan

3.2.2. Kaji bagaimana respon klien terhadap kegagalan tersebut

dan cara mengatasi

3.2.3. Jelaskan pada klien bahwa kegagalan yang dialami dapat

menjadi pelajaran untuk mengatasi kesulitan yang

mungkin terjadi dimasa yang akan datang

4.1.1. Bantu klien merumuskan tujuan yang ingin dicapai

4.1.2. Diskusikan dengan klien tujuan yang ingin dicapai dengan

kemampuan klien

4.1.3. Bantu klien memilih prioritas tujuan yang mungkin dapat

dicapainya

4.2.1. Beri kesempatan kepada klien untuk melakukan kegiatan

yang telah dipilih

4.2.2. Tunjukkan keterampilan atau keberhasilan yang telah

dicapai klien

4.2.3. Ikutsertakan klien dalam kegiatan aktivitas kelompok

4.2.4. Beri reinforcement postif bila klien mau mengikuti

kegiatan kelompok

5.1.1. Diskusikan dengan keluarga tanda-tanda harga diri

rendah

5.1.2. Anjurkan setiap anggota keluarga untuk mengenal dan

menghargai kemampuan tiap anggota keluarga

5.2.1 Diskusikan dengan keluarga cara berespons terhadap

klien dengan harga diri rendah seperti menghargai klien,

tidak mengejek, tidak menjauhi

5.2.2 Anjurkan pada keluarga untuk memberikan kesempatan

berhasil pada klien

5.2.3 Anjurkan keluarga untuk menerima klien apa adanya

5.2.4 Anjurkan keluarga untuk melibatkan klien dalam setiap

pertemuan keluarga

f. Penatalaksanaan regimen teraupetik inefektif berhubungan dengan ketidak

mampuan keluarga merawat klien

Tujuan Umum : Penatalaksanaan regimen teraupetik efektif

Tujuan Khusus :

1. Keluarga dapat mengetahui masalah yang ditemukan dalam merawat

klien di rumah dengan cara mengungkapkan perasaannya

2. Keluarga dapat mengambil keputusan untuk melakukan tindakan

kesehatan dalam merawat klien dengan mengidentifikasikan sumbersumber

koping yang dimiliki

3. Keluarga dapat menggunakan koping yang telah dipilih dalam merawat

anggota keluarga yang sakit

4. Keluarga dapat memodifikasi lingkungan keluarga yang sehat dalam

merawat klien di rumah

5. Keluarga dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada

di masyarakat

Kriteria Evaluasi :

1. Keluarga mengungkapkan perasaannya secara verbal

2. Keluarga mengidentifikasi sumber-sumber koping yang ada

3. Keluarga mengungkapkan secara verbal koping apa yang akan dipilih

4. Keluarga mengidentifikasi lingkungan yang sehat dalam merawat klien

5. Keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada

dimasyarakat.

Intervensi :

1.1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga dan anggota

keluarga yang lain :

! Terima anggota keluarg apa adanya

! Dengarkan keluhan keluarga dengan empati

! Hindari respon mengkritik/menyalahkan saat keluarga

mengekspresikan perasaannya

1.2. Buat kontrak dengan keluarga untuk bertemu (home visite) yaitu :

! Jelaskan tujuan kunjungan

! Jelaskan identitas perawat

1.3. Dorong keluarga untuk mengespresikan perasaannya dalam

merawat klien

2.1. Diskusikan dengan keluarga tentang tindakan/koping yang selama

ini telah digunakan oleh keluarga

2.2. Beri reinforcement positip bila keluarga mengemukakan tindakan

positip dan berhasil

2.3. Diskusikan dengan keluarga tentang alternatif koping

adaptif/sumber pendukung dalam menangani masalah perawatan

klien

3.1. Diskusikan dengan anggota keluarga cara yang selama ini yang

dilakukan dalam merawat klien

3.2. Berikan reinforcement positip setiap anggota keluarga

mengemukakan tindakan yang benar dan berhasil

3.3. Jelaskan pada keluarga tentang berbagai cara yang adaptif dalam

merawat klien seperti :

! Bersikap asertif

! Komunikasi terbuka

! Tidak bermusuhan/mengkritik

! Memenuhi kebutuhan klien yang masih dapat ditoleransi seperti :

pakaian, alat-alat kebersihan diri

! Libatkan klien dalam kegiatan keluarga

4.1. Motivasi keluarga untuk menerima klien apa adanya dengan cara :

! Tidak mengeluarkan kata-kata yang mengejek dan merendahkan

! Membantu klien dalam diskusi keluarga

! Menghargai klien dan memuji setiap usaha yang adaptif

4.2. Diskusikan dengan keluarga untuk menyediakan perlengkapan yang

diperlukan klien sehari-hari seperti :

! Peralatan kebersihan diri

! Alat-alat makan

! Usahakan tidak membedakan barang milik klien dengan anggota

keluarga yang lain

4.3. Diskusikan dengan keluarga untuk melatih kemampuan klien dalam

menyelesaikan masalah mulai dari yang sederhana sampai masalah

kompleks

5.1. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas pelayanan kesehatan

yang ada dan sejauh mana keluarga telah memanfaatkannya

5.2. Jelaskan pada keluarga tentang kegunaan dan efek samping obat

serta pentingnya keteraturan minum obat

g. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan menarik diri

Tujuan Umum : Pasien dapat menunjukkan kemampuan dalam melakukan

komunikasi verbal dengan perawat dan sesama pasien

dalam suatu lingkungan sosial dengan cara yang tepat

Tujuan Khusus :

1. Pasien dapat menunjukkan kemampuan untuk bertahan pada satu topik

2. Pasien dapat menggunakan ketepatan kata

3. Pasien dapat melakukan kontak mata intermitten selama 5 menit

dengan perawat dalam waktu 1 minggu

Kriteria Evaluasi :

1. Pasien dapat berkomunikasi dengan cara mendapat dimengerti orang

lain

2. Pesan non verbal pasien sesuai dengan verbalnya

3. Pasien dapat mengetahui bahwa disorganisasi pikiran dan kelainan

komunikasi verbal terjadi pada saat adanya peningkatan ansietas

melakukan kontak kepada pasien untuk memutuskan proses.

Intervensi :

1. Gunakan tehnik validasi dan klarifikasi untuk mengerti pola komunikasi

pasien

2. Pertahankan konsistensi perawat yang bertugas

3. Jelaskan kepada pasien dengan cara yang dapat mengancam

bagaimana prilaku dan pembicaraannya diterimia dan mungkin juga

dihindari oleh orang lain

4. Antisipasi dan penuhi kebutuhan pasien sampai pola komunikasi yang

memuaskan kembali

h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan panik

Tujuan Umum : Pasien mampu tidur dalam 30 menit istirahat dan tidur 6-

8 jam tanpa alat bantu tidur saat pulang

Tujuan Khusus :

1. Klien mampu membina hubungan saling percaya

2. Klien mampu mengenal prilaku panik

3. Klien dapat tidur dalam 30 menit istirahat dan tidur 5 jam tanpa

terbangun

Kriteria Evaluasi :

1. Klien dapat tidur dalam 30 menit setelah istirahat

2. Klien dapat tidur paling sedikit 6 jam berturut-turut

3. Pasien dapat menggunakan sedatif untuk membantu tidur

Intervensi :

1. Buat catatan secara rinci tentang pola tidur pasien

2. Berikan obat-obatan anti psikotik sebelum tidur

3. Bantu dengan tindakan-tindakan yang dapat menambah waktu tidur,

kehangatan dan minuman yang tidak merangsang

4. Lakukan latihan relaksasi menggunakan musik yang lembut sebelum

tidur mungkin membantu

5. Batasi masukan minuman yang mengandung kafein

i. Koping individu tak efektif berhubungan dengan rendah diri

Tujuan Umum : Klien dapat mendemonstrasikan lebih banyak penggunaan

keterampilan koping adaptif yang dibuktikan oleh adanya

kesesuaian antara interaksi dan keinginan untuk

berpartisipasi dalam masyarakat

Tujuan Khusus :

1. Pasien akan mengembangkan rasa percaya kepada 1 orang perawat

dalam 1 minggu

Kriteria Evaluasi :

1. Klien dapat menilai situasi realistis dan tidak melakukan tindakan

proyeksi perasaannya dalam lingkungan tersebut

2. Klien dapat mengakui dan mengklarifikasi kemungkinan salah

interpretasi terhadap prilaku dan perkataan orang lain

3. Klien dapat berinteraksi secara kooperatif

Intervensi :

1. Bina hubungan saling percaya

2. Hindari kontak fisik

3. Motivasi klien untuk mengatakan perasaan yang sebenarnya dan

perawat menghindari sikap penolakan terhadap perasaan marah pasien

4. Jangan berikan kegiatan yang bersifat kompetitif.

BAB III

P E N U T U P

Berdasarkan uraian diatas mengenai halusinasi dan pelaksanaan asuhan

keperawatan terhadap pasien, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Saat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi

ditemukan adanya perilaku menarik diri sehingga perlu dilakukan pendekatan

secara terus menerus, membina hubungan saling percaya yang dapat

menciptakan suasana terapeutik dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang

diberikan.

2. Dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien khususnya dengan

halusinasi, pasien sangat membutuhkan kehadiran keluarga sebagai sistem

pendukung yang mengerti keadaaan dan permasalahan dirinya. Disamping itu

perawat / petugas kesehatan juga membutuhkan kehadiran keluarga dalam

memberikan data yang diperlukan dan membina kerjasama dalam memberi

perawatan pada pasien. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa

peran serta keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan

klien.

Saran-saran

1. Dalam memberikan asuhan keperawatan hendaknya perawat mengikuti

langkah-langkah proses keperawatan dan melaksanakannya secara sistematis

dan tertulis agar tindakan berhasil dengan optimal

2. Dalam menangani kasus halusinasi hendaknya perawat melakukan

pendekatan secara bertahap dan terus menerus untuk membina hubungan

saling percaya antara perawat klien sehingga tercipta suasana terapeutik

dalam pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan

3. Bagi keluarga klien hendaknya sering mengunjungi klien dirumah sakit,

sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan kondisi klien dan dapat

membantu perawat bekerja sama dalam pemberian asuhan keperawatan bagi

klien.

DAFTAR PUSTAKA

Directorat Kesehatan Jiwa, Dit. Jen Yan. Kes. Dep. Kes R.I. Keperawatan Jiwa. Teori

dan Tindakan Keperawatan Jiwa, Jakarta, 2000

Keliat Budi, Anna, Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa, EGC,

Jakarta, 1995

Keliat Budi Anna, dkk, Proses Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta, 1987

Maramis, W.F, Ilmu Kedokteran Jiwa, Erlangga Universitas Press, Surabaya, 1990

Rasmun, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi dengan Keluarga, CV.

Sagung Seto, Jakarta, 2001.

Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri, EGC, 1997

Stuart & Sunden, Pocket Guide to Psychiatric Nursing, EGC, Jakarta, 1998

schizophrenia treatment

REFERENSI


Keliat, Budi Anna, dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC
Maslim, Rusdi. 1998. Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta
Stuart, Gail W.2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama
Isaac, A. Alih bahasa : Rahayunigsih, D. P. 2005. Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik. Edisi 3. Jakarta. EGC

www.perawatjiwaunpad.blogspot.com